Sudut Pandang

Joko Pinurbo: Melampaui Ruang Absurditas dan Religiusitas

Joko Pinurbo: Melampaui Ruang Absurditas dan Religiusitas

Sejujurnya saya bukanlah penikmat sastra—khususnya puisi—yang baik. Sebab apa yang saya baca lebih dominan wacana-wacana non-fiksi sesuai dengan aktivitas sehari-hari di dunia akademik.

Sejak mahasiswa sampai sekarang, saya hanya memosisikan sastra sebatas dan semacam pelampiasan semata ketika jenuh dengan dunia rutinitas kerja. Saat itu terjadi, salah satu hiburan saya adalah membaca novel, cerpen maupun puisi.

Ya, dengan begitu pikiran saya akan merasa sedikit lega, dan dunia imajinasi saya seolah kembali menyala. Lagipula menurut saya, cara terbaik untuk memperhalus bahasa ya hanya dengan sastra.

Maka tulisan ini bukan hendak mengafirmasi bahwa saya adalah orang yang sangat paham dengan sastra ataupun puisi.

Tulisan ini lebih tepatnya semacam obituari untuk sang maestro sastra sekaligus “peternak kata-kata” andal: Joko Pinurbo (Jokpin) yang berpulang saat menjelang usianya genap 62 tahun pada hari Sabtu, 27 April 2024.

Perkenalan saya dengan penyair yang menghabiskan usia di Yogyakarta itu boleh dibilang hanya sebatas pengagum saja. Sebab penggalan kata-kata “nyentrik” dari puisinya sangat mudah kita temukan di akun-akun “peternak quotes” media sosial.

Video penampilannya saat membacakan puisi pun juga bisa kita temukan di Youtube. Salah satu di antaranya ketika ia menjadi bagian dari “guest star” dalam peringatan hari milad Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) ke 74 pada tahun 2018 silam.

Di acara tersebut Jokpin membacakan salah satu puisi yang menarik sekali: Sajak Balsem untuk Gus Mus.

Puisi ini menjadi salah satu kritik atas fenomena keberagamaan Indonesia yang “ruwet” dengan cara jenaka. Saya kutip beberapa bait isinya di bawah ini:

Akhir-akhir ini banyak
orang gila baru berkeliaran, Gus.
Orang-orang yang hidupnya
terlalu kenceng dan serius.
Seperti bocah tua yang fakir cinta.

Saban hari giat sembahyang
Habis sembahyang terus mencaci
Habis mencaci sembahyang lagi
Habis sembahyang ngajak kelahi

Melampaui Sekat Bahasa dan Agama

Jokpin boleh dibilang memiliki kecerdasan puitis yang sulit ditemukan pada penyair lainnya. Ia mampu menjebol batas sekat bahasa menjadi sesuatu yang unik, jenaka dan mudah untuk dicerna.

Puisi-puisinya acapkali membuat pembaca terbelalak kaget karena tak menyangka diksi yang dipakai akan seperti itu.

Jokpin tipikal penyair yang berusaha melandaikan puisi menjadi lebih membumi. Ia seolah tak mau terjebak pada diksi-diksi yang terlampau eksotis dan glorifikatif. Baginya, puisi itu ya gambaran dari realitas sehari-hari.

Namun karena puisi itu bagian dari karya sastra maka bagaimana cara meramu realitas itu dalam bentuk puisi yang memikat? Maaf lupa, saya tambahi lagi, tak hanya memikat tapi juga “menyengat”. Nah, dalam konteks inilah kehadiran Jokpin menjadi angin segar tersendiri.

Misalnya hal demikian bisa dilihat dalam ungkapan satir ini: “Apa agamamu? Agamaku adalah air yang menghapus pertanyaanmu.”

Kalau kita peka, harusnya ungkapan itu cukup untuk menampar dan menyadarkan betapa agama tak selayaknya dijadikan pertimbangan utama dalam melakukan banyak hal.

Sejak kapan agama dijadikan semacam lisensi dalam menjalin relasi sosial?

Anda bisa membayangkan, jika dalam menjalin setiap relasi sosial harus ditentukan berdasarkan identitas agama, betapa menjengkelkan hidup di Indonesia. Ini mirip dengan ungkapan Gus Dur: “Tak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan hal baik, orang tak akan tanya apa agamamu.”

Di sisi lain, kalau boleh disebut, Jokpin kadangkala juga senang bermain kata-kata dengan menabrakkan absurditas dengan sisi religiusitas. Sekali lagi, ia ingin tetap menyuguhkan diksi yang menggelitik tanpa harus kehilangan substansi maknanya. Itu bisa dilihat salah satunya dalam puisi bertajuk, Perjamuan Khong Guan.

Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.

Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.

Dalam titik itulah sesungguhnya apa yang dilampaui oleh Jokpin merupakan manifestasi dari renungan atas absurditas.

Beberapa syair Jokpin mirip dengan Afrizal Malna yang juga senang bemain-main dengan absurditas kata-kata, seperti dalam novelnya, Kepada Apakah (2014).

Novel sastrawan berkepala plontos jebolan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara ini dimulai dengan kalimat yang ontologis sekali: “Apa yang kamu pahami tentang apakah?”

Kalau Anda akrab dengan karya Albert Camus, sesungguhnya ia memang agak pesimis jika ada manusia yang coba memaknai absurditas.

Kata Camus, upaya memahami absurditas itu merupakan perihal sia-sia belaka. Manusia tak akan mampu memaknainya kecuali ia bersahabat dengannya.

Namun ikhtiar yang dicapai oleh Jokpin boleh dibilang sebagai via negativa manusia menuju makna terdalam dari pengalaman (religiusitas) hidupnya.

Ia telah melampaui ruang absurditas yang ia manifestasikan dalam setiap syair-syairnya. Sebab dalam taraf seperti itu, nalar akan menggerakkan dan “menyalakan” manusia melebihi apa yang dapat dilakukan oleh imajinasinya.

Selamat jalan, selamat ber-haha-hihi dengan Sapardi. Kini engkau telah tuntas menunaikan ibadah puisi. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.