Wartakita

Membincang Digitalisasi Manuskrip dan Dekolonialisasi bersama Peneliti dari Leiden University

Membincang Digitalisasi Manuskrip dan Dekolonialisasi bersama Peneliti dari Leiden University

Senin, tanggal 15 Juli 2024, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sayyid Ali Rahmatullah menggelar acara yang menarik: Coaching Research bersama seorang peneliti ahli Islam in South and South Asia Studies dari Leiden University: Dr. Verena Meyer.

Acara yang digelar di meeting room Gedung Rektorat lantai 2 tersebut mengundang para dosen dan peneliti baik dari internal maupun eksternal.

Pada kesempatan ini, tim Diskursus Institute menjadi salah satu bagian yang nimbrung dalam acara yang dikemas berbentuk Focus Group Discussion (FGD) tersebut. Acara ini berlangsung gayeng dan penuh dengan keakraban.

Acara dimulai dengan sambutan Rektor UIN Sayyid Ali Tulungagung, Prof. Dr. Abd. Aziz. Dalam sambutannya, rektor menyoal perihal kesejarahan dan budaya yang ada di Tulungagung. Ia menjelaskan bahwa Tulungagung—meskipun terletak di ujung selatan Jawa Timur—sesungguhnya kaya dengan warisan (heritage) sejarah.

Rektor kemudian menjelaskan bahwa Tulungagung merupakan wilayah yang tak lepas dari jaringan wali dan para aktor keagamaan pada masa lampau. Hal ini bisa dibuktikan misalnya dengan adanya makam “keramat” seperti Syeikh Basyarudin, Sunan Kuning maupun Bedalem.

Sehingga tak aneh jika Tulungagung menjelma sebagai zona riset yang amat menarik. Pemantik ini mengarahkan forum kian dekat dengan tema yang digagas oleh Dr. Verena Meyer, “Manuscripts, Digitization and the Question of Decolonization: A New Way Forward?”. Diskursus tentang teks, naskah kuno dan upaya pengarsipan digital menjadi isu yang menggiurkan untuk dikaji lebih jauh lagi.

Wakil Rektor II UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Dr. phil. Syaifudin Zuhri, M.A., juga menambahkan beberapa hal menarik terkait lanskap riset yang ada di Jawa.

Menurutnya, tema riset terkait Javanese studies memang luas, dan dalam teorema zaman kekinian, hal ini membuat peneliti wajib mengontekstualisasikan risetnya untuk tidak menggugurkan potensi teknologi sekarang, termasuk perihal digitalisasi naskah kuno.

Selepas itu, pelan tapi pasti, Dr. Verena Meyer mulai menjelaskan apa, dan mengapa proyek risetnya menarik untuk dibagikan dan dipahami oleh khalayak khususnya para akademisi di Tulungagung.

Verena—sapaan akrabnya—mulai memaparkan fokus risetnya tentang irisan sejarah kapan hilangnya manuskrip-manuskrip penting di Jawa. Momen Geger Sepoy (1812) dianggap sebagai titik awal pasukan Inggris di era Thomas Stamford Raffles yang telah memboyong ratusan bahkan ribuan manuskrip.

Forum ketika perdiskusian berlangsung amat gayeng.

Menurut Verena, di era Sultan Hamengkubuwana II, terjadi gesekan dan konflik politik amat besar yang imbasnya banyak aset-aset yang dirampas kolonial.

Hijrahnya manuskrip-manuskrip penting itu oleh Verena dilihat sebagai fase kolonialisasi atas keilmuan klasik Jawa. Hal ini mengakibatkan berbagai problem kesejarahan-kesarjanaan yang akan terjadi di kemudian hari.

Alih-alih ada ikhtiar “pemintaan maaf” dari pihak kolonial, tepat pada tahun 2022, naskah-naskah klasik tersebut dikembalikan pada pihak keraton dalam bentuk digital. Momentum inilah yang melahirkan pertanyaan, apakah dekolonialisasi hanya sekadar soal returning-homecoming atau “pengembalian” semata?

Verena dalam risetnya coba menggali berbagai relasi-relasi kunci. Berbekal bahasa oplosan: Inggris-Indonesia, dan sedikit kosakata Jawa, ia melacak permasalahan ini dari akar-akar pembahasan yang tepat.

Dalam hipotesisnya, Verena mengatakan bahwa ada pola antara kolonialisasi, era kekosongan naskah, dan dekolonialisasi yang menyebabkan terjadinya berbagai reduksi atas khazanah keilmuan yang ada di tubuh masyarakat Jawa. Apalagi terkait naskah sakral yang cenderung diyakini memiliki daya kekuatan adikodrati dalam benak ontologi mistik Jawa.

Alih-alih merambahkan tema itu kepada hal yang lebih filosofis, Verena sejauh risetnya, lebih cenderung mengamati tendensi relasi politik yang terjadi. Kecurigaan atas upaya pengembalian ini bisa saja memiliki fungsi politis, misalnya sebagai upaya meredam ketegangan lama dan luka sejarah kolonial yang memilukan.

Dalam asumsi yang lain, bisa jadi hal demikian juga dimanfaatkan lebih lanjut oleh pihak keraton untuk melancarkan politik kebudayaan. Yang dimaksud politik kebudayaan adalah upaya hegemoni dan penguatan (kembali) otoritas keraton dalam aspek pembudayaan masyarakat.

Mengapa demikian? Verena beragumen bahwa di Eropa, naskah-naskah yang dianggap mistik ini—atau mengandung transcendental power—hanya diarsipkan, dirawat dan bahkan didigitalisasi sebatas teks biasa dalam sudut pandang Barat.

Apalagi terkait naskah yang berhubungan dengan pusaka atau azimat, seperti dalam naskah Babad Paku Alaman-Babad Panjenengan atau naskah-naskah lain.

Verena, dengan nada terpukau, juga bercerita bahwa pernah terjadi beberapa kejadian unik. Suatu ketika, keanehan terjadi saat sebuah keris yang sedang dibawa lolos pantauan Xray petugas bandara.

Pertanyaannya kemudian, kepercayaan adanya “power” dalam berbagai obyek sejarah tersebut apakah masih ada atau sudah lenyap dalam tradisi alam pikir manusia Jawa sekarang?

Di akhir sesi, diskusi semakin menarik ketika Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR), Akhol Firdaus melempar pertanyaan menggelitik. “What is the mean of decolonization?” kurang lebih begitu pertanyaannya.

Akhol Firdaus dengan kritis membrondong Verena dengan pertanyaan fundamental terkait proyek digitalisasi bernuansa dekolonialisasi itu.

Direktur IJIR tersebut mempertanyakan ulang dan mencurigai terkait misi dekolonialisasi yang dipotret oleh Barat. Jangan-jangan misi itu hanya sebatas formalitas belaka atau malah bentuk dari kolonialisasi baru?

Sebab bagi Akhol, unsur ontologis dalam manuskrip di Nusantara tidak mungkin bisa digantikan misalnya dengan proyek digitalisasi atau sejenisnya.

Baginya, aspek ontologis adalah bagian tak terpisahkan dalam alam bawah sadar manusia Jawa termasuk cara pandangnya terhadap sebuah warisan budaya seperti manuskrip.

Sebagai pihak eksternal, kami bersyukur bisa ikut berkecengkrama dalam suasana gegap gempita perdiskusian yang tak hanya sarat dengan keilmuan tetapi juga meninggalkan berbagai kegelisahan dan kecurigaan.[]

Share this post

About the author

Penulis Buku "Googling Iman" dan Peneliti di Diskursus Institute