Wartakita

Sambijajar Tempoe Doeloe: Melacak Sejarah Desa dari Cerita (1)

Sambijajar Tempoe Doeloe: Melacak Sejarah Desa dari Cerita (1)

 

Saya sudah sepatutnya bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di desa. Dari desalah saya pertama kali mengenal tradisi dan budaya yang sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Nama desa saya adalah Sambijajar. Desa ini terletak 12 KM arah tenggara dari pusat kota. Sambijajar masuk dalam wilayah Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung. Desa ini terdiri dari tiga dusun: Sadeng, Tanjung dan Waringin.

Jika dilihat sepintas, desa ini tampak bisa saja, sebagaimana desa pada umumnya. Namun, siapa sangka jika desa saya ini ternyata menyimpan cerita rakyat (folklor) yang cukup menarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita tertulis.

Awal kisah dimulai pada pertengahan tahun 2018. Sejumlah pemuda pemerhati tradisi dan budaya di desa Sambijajar berupaya untuk merekonstruksi makam tua yang disinyalir merupakan tokoh leluhur yang mem-babad desa.

Singkat cerita, ikhtiar itu berhasil dengan didukung oleh perangkat desa setempat. Makam tua, yang terletak di Dusun Tanjung itu pada akhirnya dibangun secara swadaya. Menurut cerita, ada tujuh makam di tempat yang diyakini masih ada kaitannya dengan keraton Yogyakarta pada masa lampau.

Oleh karena itu, tak aneh jika makam ini diberi nama: Sentono Tanjung. Istilah “sentono” berarti abdi dalem kerajaan. Sedangkan “tanjung” adalah nama dusun tempat makam itu berada. Cerita lengkap soal makam ini, akan saya ceritakan setelah ini.

Berangkat dari latar belakang demikian, akhirnya saya merasa tertarik untuk ikut mendokumentasikan kisah babad desa yang selama ini memang belum jelas alurnya. Pada akhir 2019, saya bersama beberapa kawan akhirnya mendirikan sebuah yayasan yang salah satu bidangnya adalah kajian dan riset seputar keagamaan dan budaya. Lembaga sayap yayasan ini diberi nama Diskursus Institute.

Apakah Syeikh Alwi dan Syeikh Hasan Munadi yang dimaksud itu adalah tokoh yang sama dengan data sejarah yang pernah ditulis oleh Siti Hidayati Amal? Kalau benar, kenapa ada dua versi cerita tentang Syeikh Alwi, dan bagaimana ia bisa sampai hijrah ke Desa Sambijajar dan tidak terlacak selama ini?

Apesnya, pada awal 2020 ketika saya mulai melacak dan menghimpun data tentang sejarah desa, Pandemi Covid-19 mulai muncul dan menggila. Itu yang membuat saya beserta teman-teman dilanda ketakutan dan kekhawatiran untuk mobilitas di lapangan seperti biasa.

Kendala itu yang pada akhirnya membuat riset ini molor dan baru selesai pada bulan ini. Tentu ada faktor lain juga yang membuat lama, misal kesulitan untuk melacak narasumber yang mumpuni dan mengoneksikan cerita dengan data berupa buku, jurnal, dsb yang sudah ada. Lantas bagaimana cara mengukur validitas data jika riset hanya bersumber dari cerita lisan semata?

Dalam disiplin ilmu antropologi, sumber dibedakan menjadi tiga: pertama, situs, manuskrip atau sejenisnya. Kedua, dokumen baik berupa buku atau jurnal hasil riset terdahulu. Ketiga, cerita tutur masyarakat setempat. Sehingga sah-sah saja jika sebuah buku mengulas sejarah (lokal) yang sulit dicari dokumen pendukungnya lantas mengandalkan cerita tutur masyarakat sebagai sumbernya. Sebab betapapun cerita tutur itu terdapat beberapa kelemahan (ingatan), tapi dalam tradisi penelitian lapangan, informan juga menjadi bagian penting sumber data yang tak bisa dinafikan peranannya.

Tulisan ini adalah sepenggal narasi babad desa yang akan kami publikasikan dalam bentuk satu buku utuh sebagai project pertama lembaga kami. Oleh sebab itu, karena hanya fragmen, maka catatan ini tak mungkin merekam seutuhnya. Isi lengkapnya akan kami sajikan nanti, ketika buku tersebut selesai cetak dan terdistribusi.

Makam Sentono Tanjung: Syeikh Alwi, Keraton & Jaringan Hadrami

Selepas Isya, pada pertengahan bulan Januari 2020, saya bersama seorang kawan melawat ke kediaman salah seorang tokoh pemuda di desa saya, namanya Ahmad Sirotul Munir. Kang Munir (begitu biasanya ia dipanggil), adalah pengasuh Padepokan Cakra Buana. Orangnya ramah, murah senyum dan tegas.

Selepas kopi hitam tersaji, maka saya mulai mengutarakan niat untuk menulis babad atau sejarah Desa Sambijajar. Gayung bersambut, ia pun tampak senang dengan niatan saya itu. Bahkan ia memberikan dua lembar kertas berisi cerita tentang hasil penelusuran teman-teman pemerhati sejarah dan budaya desa. Dari dua carik kertas itulah obrolan menarik pada malam itu dimulai.

Kang Munir, dengan semangat, mulai menceritakan bahwa konon tokoh yang pertama kali membangun desa ini bernama Syeikh Alwi Ba’abud atau akrab dipanggil Ki Ageng Kariman. Ia dikisahkan sebagai seorang ulama dari Hadramaut, Yaman yang hijrah ke Nusantara sekitar abad ke 18 M.

Menurut cerita, ia datang ke Jawa melalui jalur dagang Jepara dan Demak pada tahun 1755 Masehi atau tepat pada saat Pangeran Mangkubumi (1717-1792)—seorang putra sultan Amangkurat IV dari istri selir bernama Raden Mas Ayu Tejowati—dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, pasca perjanjian Giyanti 1755 Masehi.

Informasi itu bisa saja benar, mengingat jika mengacu pada data sejarah (Uka Tjandrasasmita, 2009), gelombang pribumisasi Islam di Nusantara memang sudah ada sejak abad ke 7 atau sebagian ahli juga ada yang menyebut abad ke 13 Masehi yang didominasi oleh bangsa Arab, Persia, dan India. Mereka berkomunikasi dengan orang-orang pribumi untuk mengajarkan ajaran Islam. Sehingga sangat mungkin jika Syeikh Alwi Ba’abud (Ki Ageng Kariman) memang berasal Yaman.

Selain berprofesi sebagai pedagang Kuda, Syeikh Alwi juga dikenal sebagai seorang tabib yang sangat mumpuni. Ia bersahabat baik dengan Sultan Hamengkubuwono I dan dipercaya sebagai penasihat agama di Keraton Yogyakarta dengan gelar Ki Ageng Kariman. Kemudian Syeikh Alwi menikah dengan salah satu bekas selir Sri Sultan dan dikaruniai dua orang putra: RM. Hassan Munadi dan RM. Nur Muhammad.

Dari sini, persoalan lain muncul, saat mulai berselancar di internet, saya menemukan sebuah tulisan jurnal menarik yang ditulis oleh Siti Hidayati Amal, “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta,” yang dimuat di jurnal Antropologi (2005). Riset ini menyebut nama yang sama: Syeikh Alwi Ba’abud. Menurut cerita tutur, Syeikh Alwi kemudian menikahkan putranya bernama Syeikh Hassan Munadi (1764–1830 M) dengan putri Sri Sultan Hamengkubuwono II yang bernama Raden Ayu Samparwadi (1775-1797 M) dari seorang ibu bernama Bendoro Mas Ayu Citrosari. Dari sinilah yang akhirnya melahirkan trah keturuan antara Arab-Jawa.

Pada saat itu—seperti cerita atau dongeng yang sering kita dengar—Raden Ayu Samparwadi sedang menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono II menggelar sayembara barangsiapa yang mampu menyembuhkan anaknya jika ia perempuan akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dinikahkan dengan putrinya. Namun dari sekian tabib dan orang yang datang untuk mengikuti sayembara itu, tak satupun yang berhasil.

Singkat cerita, Syeikh Alwi pun datang untuk membantu menyembuhkan dan ternyata berhasil. Sesuai dengan janji Sri Sultan, maka ia pun berhak menikahi putrinya. Namun pekara muncul karena Syeikh Alwi pada saat itu sudah lanjut usia. Akhirnya sang putri dinikahkan dengan anaknya yang bernama Syeikh Hassan Munadi tadi yang pada saat itu masih berusia 25 tahun dan Raden Ayu Samparwadi berusia 14 tahun. Pernikahan tersebut dilaksanakan pada tahun 1789 Masehi.

Pada tahun 1815 M, Syeikh Alwi dan kedua putranya (Syeikh Hassan Munadi dan Syeikh Nur Muhammad) diikuti oleh para kerabat dan pengikutnya yang setia memutuskan untuk hijrah meninggalkan keraton. Alasannya karena kondisi keraton sudah tak kondusif, dipenuhi oleh kemelut kepentingan politik dengan penjajah.

Dalam perjalannya, ia berusaha menemukan keberadaan Sri Sultan Hamengkubuwono II yang lebih dahulu hijrah dari keraton. Benar saja, pada akhirnya Syeikh Alwi menemukan keberadaan Sri Sultan di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Tawangsari, Tulungagung. Ia ternyata memilih hijrah dari keraton dan tinggal di kediaman Raden Qosim Tawangsari atau KH. Abu Manshur yang masih dekat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono.

Saat saya konfirmasi ke pihak sentono Tawangsari, mereka mengatakan bahwa selama ini tidak ada cerita tutur atau bukti tertulis yang menyebutkan bahwa Syeikh Alwi pernah bercengkerama di Tawangsari. Namun meski begitu, pihak Tawangsari juga tidak menutup kemungkinan bahwa bisa jadi ada sosok bernama Syeikh Alwi. Mengingat bahwa Raden Qosim sudah menetap di daerah Tawangsari sejak tahun 1723.

Selepas itu, Syeikh Alwi beserta rombongan pergi untuk meneruskan dakwah ke wilayah tenggara yang kita kenal sekarang dengan nama Sambijajar. Pada saat itu, sistem pemerintahan desa masih belum jelas. Setelah proses pembangunan desa selesai, Syeikh Alwi beserta rombongannya membagi wilayah untuk beraktivitas masing-masing. Singkat cerita, atas usulan salah seorang pengikutnya, Syeikh Abdul Halim (Eyang Kriyakusuma), daerah babadan itu dinamai Sambijajar alias daerah yang banyak ditumbuhi oleh pohon Sambi (Kesambi; Schleichera oleosa) dan berjajar-jajar. Kelak, Syeikh Alwi, kedua anaknya dan keempat pengikutnya dimakamkan di Sentono Tanjung.

Agak berbeda dari cerita tutur tersebut, masih merujuk pada riset Siti Hidayati Amal (2005), di daerah makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta ada nisan nomer 21 yang juga bertuliskan nama Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Samparwadi (Syeikh Hasan Munadi).

Lalu, apakah Syeikh Alwi dan Syeikh Hasan Munadi yang dimaksud itu adalah tokoh yang sama dengan data sejarah yang pernah ditulis oleh Siti Hidayati Amal? Kalau benar, kenapa ada dua versi cerita tentang Syeikh Alwi, dan bagaimana ia bisa sampai hijrah ke Desa Sambijajar dan tidak terlacak selama ini?

Lanjutan https://diskursusinstitute.org/sambijajar-tempoe-doeloe-2/

 

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.