Sudut Pandang

Menelisik Jejak Islamisasi di Bumi Ngrowo

Menelisik Jejak Islamisasi di Bumi Ngrowo

 

Islam masuk ke Nusantara melalui berbagai jalur, salah satunya perdagangan mulai dari abad ke 7 Masehi. Hal ini menyebabkan pribumisasi Islam di Nusantara terjadi begitu massif. Salah satu faktor yang mendorong pribumisasi Islam ini adalah doktrin yang menyeru setiap pemeluknya untuk berdakwah. Uka Tjandrasasmita (2009: 22) menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa seluruh umat Islam bisa menjadi “misionaris,” dan pendapat ini termaktub dalam kitab suci al-Qur’an.

Pelan namun pesti, Islam juga merangsek ke domain pendidikan sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai agama lebih dalam ke masyarakat. Selain itu, jalur perkawinan juga menjadi aspek yang penting untuk mengislamkan masyarakat pada masa dahulu. Yang terakhir, keberadaan dan perkembangan sufisme menjadi faktor yang tak kalah penting.

Keempat jalur inilah yang selalu diafirmasi oleh kalangan peminat sejarah mengenai proses islamisasi yang terjadi di Nusantara. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya jalur lain dalam prosesnya seperti politik, ekspansi wilayah, budaya dan lain sebagainya.

Proses islamisasi yang makro tersebut pada akhirnya tumbuh dan berkembang sampai akar rumput di hampir setiap wilayah atau daerah. Salah satunya adalah Kadipaten Ngrowo atau yang sekarang dikenal dengan Tulungagung.

Untuk menelisik lebih dalam lagi tentang jejak islamisasi di Tulungagung memang bukan perkara gampang. Namun meski begitu, bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Hanya butuh ikhtiar ekstra untuk menelusurinya dengan berbekal pada peninggalan situs-situs yang ada, babad atau manuskrip, dan tentu saja sejarah tutur dari narasumber yang memang mumpuni.

Pelacakan sejarah dalam scope mikro ini masih jarang ditemukan. Padahal untuk mengisi fragmen sejarah nasional (makro), seperti apa yang dikatakan oleh Sugeng Priyadi (2015: 19) sedikit banyak akan mengambil hasil historiografi sejarah lokal.

Sebab wilayah selatan Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Trenggalek dan Blitar ini, menyimpan segudang informasi tentang jejak-jejak masa lampau sejak zaman prasejarah, misalkan penemuan Homo Wajakensis, situs-situs sisa Majapahit, sampai dengan Mataram Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan penemuan fosil, candi, makam, dan tempat peribadatan.

Bahkan kalau merujuk pada pendapat Maftukhin (2017: 2), Tulungagung pada masa lampau adalah “tanah haram” atau “bumi suci” tempat para tokoh besar uzlah atau menepi. Salah satu contohnya adalah Candi Gayatri yang menjadi tempat pen-dharma-an Śrī Gayatri Rājapatni yang merupakan putri sulung raja Kṛtanagara.

Gambaran di atas merupakan potret singkat betapa menggiurkannya kajian sejarah di wilayah Tulungagung. Namun sayangnya, sampai saat ini, belum ada sumber rujukan otoritatif yang menyebut kapan Islam pertama kali masuk ke bumi Ngrowo dan siapa tokoh penyebarnya.

Padahal ada banyak sekali situs makam tua di Tulungagung yang sampai sekarang masih simpang siur latar belakangnya. Taruhlah makam Sunan Kuning di Desa Macanbang, Kecamatan Gondang sebagai salah satu contohnya. Ada tokoh yang menyebut makam Sunan Kuning itu sudah ada sejak abad ke 15 Masehi.

Namun belum selesai perdebatan tentang angka abad itu, sebutan ‘Sunan Kuning’ dalam beberapa cerita dan publikasi juga terdapat di wilayah lain, misalnya Semarang. Lantas, siapa dan darimana Sunan Kuning yang ada di Tulungagung? Apakah itu benar makam atau hanya petilasan saja?

Ada juga makam Bedalem di Ds. Besole, Kec. Besuki, yang konon menurut keyakinan masyarakat sekitar dan juru kuncinya merupakan makam dari Pangeran Benawa. Namun sejauh ini, informasi, dan data-data yang mengarah ke situ belum ada, dan belum cukup kuat, kecuali sebatas cerita tutur belaka. Apalagi jika kita lacak, nama Pangeran Benawa ini merujuk pada tokoh besar, putra dari Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang.

Lokasi makam Pangeran Benawa memang masih menjadi misteri dan perdebatan sampai saat ini. Setidaknya ada tiga versi cerita tutur: Bedalem, Ds. Besole, Kec. Besuki, Kab. Tulungagung, Jawa Timur. Kemudian, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dan yang terakhir, ada di Kendal, Jawa Tengah juga. Namun dari ketiga versi ini, hanya di Lasem-lah yang memberikan informasi lebih terkait makam para keturunannya. Konon, letak makam Pangeran Benawa itu ada di selatan Masjid Jami Lasem.

Dalam konteks ini, De Graaf dan Pigeaud dalam, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (2001: 374) juga tidak menyebut secara spesifik dimana Pangeran Benawa meninggal dan dikebumikan. Ia hanya menyebut Pangeran Benawa meninggal atau meninggalkan Pajang untuk membaktikan diri kepada agama di Parakan (di bagian utara daerah Kedu), Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Adapun untuk angka tahunnya juga tak disebutkan oleh sejarawan asal Belanda itu.

Hanya saja—masih menurut De Graaf & Pigeaud—anak-cucunya, raja terakhir Pajang, setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran dengan Mataram, melarikan diri ke Gresik dan Surabaya. Sebab selama memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang mempunyai hubungan persahabatan dengan keluarga raja di Jawa Timur. Makanya tak aneh bila di Surabaya, tepatnya di pemakaman Benawa Krajan, diyakini juga sebagai petilasan pangeran Benawa. Tentu saja, hal ini lepas dari benar atau tidak.

Maka, Makam Bedalem yang disinyalir merupakan persemayaman Pangeran Benawa itu bisa saja benar atau salah. Bisa benar jika kita mengacu pada data-data sejarah primer yang memang tidak menyebut dengan jelas dimana ia disemayamkan. Kemungkinan, Pangeran Benawa beserta pengikutnya lari ke Tulungagung untuk menepi dari hiruk-pikuk sampai dengan meninggal di Bedalem, Ds. Besole, Kec. Besuki, Kab. Tulungagung menjadi sedikit masuk akal. Kenapa memilih wilayah selatan Tulungagung sebagai tujuan akhir? Bisa jadi karena Tulungagung adalah “bumi suci.”

Sebaliknya, asumsi masyarakat sekitar tentang makam Pangeran Benawa di Bedalem adalah putra dari Jaka Tingkir bisa juga tidak benar. Mengingat tak ada bukti tertulis misal manuskrip atau riset yang membenarkannya. Bisa jadi ada kesamaan nama atau memang sengaja dibuat cerita untuk kepentingan tertentu.

Untuk menelisik lebih dalam lagi tentang jejak islamisasi di Tulungagung memang bukan perkara gampang. Namun meski begitu, bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Hanya butuh ikhtiar ekstra untuk menelusurinya dengan berbekal pada peninggalan situs-situs yang ada, babad atau manuskrip, dan tentu saja sejarah tutur dari narasumber yang memang mumpuni. Begitulah kiranya. []

Share this post

About the author

Mahasiswa Sejarah di UIN Satu Tulungagung