Sudut Pandang

Qushay Bin Kilab: Leluhur Nabi Muhammad yang Kontroversial Namun Sangat Pluralis

Qushay Bin Kilab: Leluhur Nabi Muhammad yang Kontroversial Namun Sangat Pluralis

 

Saat saya membacakan Kitab Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam di fanspage Waskita Jawi Ramadhan yang lalu, mata saya tertuju kepada sebuah nama, nama salah seorang penguasa Makkah yang juga leluhur Nabi Muhammad, Qushay bin Kilab. Bukan karena statusnya sebagai penguasa Makkah yang memalingkan pandangan saya, melainkan cara Qushay berkuasalah yang membuat saya terpana.

Meskipun pada awalnya Qushay bin Kilab merebut Makkah dengan cara yang tidak biasa (baca: kontroversial), namun kehadirannya sebagai pemimpin dengan tetap menjamin tradisi para suku di sekitarnya mengingatkan kepada kita atas semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

Strategi Qushay bin Kilab Menguasai Makkah

Sebelumnya, Qushay bin Kilab hanya salah satu anggota suku Quraish biasa, dia mendapatkan kekuasaan Makkah dari mertuanya, Hulail bin Hubsyiyyah. Setelah Hulail meninggal dunia, proses suksesi kepemimpinan kepada menantunya, Qushay bin Kilab tidak bisa dibilang sederhana, dan dapat kita katakan penuh perdebatan hingga pertumpahan darah.

Pasca mertuanya meninggal, Qushay bin Kilab sadar bahwa untuk menguasai Makkah tidak cukup hanya dengan mengandalkan ‘wasiat’ mertuanya saja, melainkan juga harus menyingkirkan kelompok lain di antaranya ialah Shufah, Suku Khuza’ah, dan Bani Bakar.

Sufah ialah sebuah suku yang memegang kuasa peribadatan di sekitar Kakbah. Bagi para orang-orang yang berhaji pada waktu itu, Sufah sudah menjadi orang yang paling mempunyai otoritas untuk memimpin peribadatan. Misalnya, para jamaah haji tidak akan melempar jumrah sebelum Sufah melemparnya terlebih dahulu. Saking ‘keramat’nya para Sufah itu menjelma bak ‘iman’ yang harus dipatuhi layaknya doktrin agama.

Sementara, Khuzaah adalah suku yang menguasai Makkah sebelum direbut oleh Qushay bin Kilab. Dan mertua Qushay bin Kilab ialah tokoh Bani Khuza’ah terakhir yang menguasai Makkah. Sedangkan Bani Bakar adalah suku yang sempat berafiliasi dengan Khuzaah untuk memulangkan Suku Jurhum ke wilayah asli mereka, Yaman. Setelah Jurhum pergi, Khuza’ah memimpin dan bukan Bani Bakar.

Meskipun cara Qushay menguasai Makkah sangat kontroversial, namun cara memimpinnya ini sangatlah pluralis dan mengedepankan persatuan dengan menjamin tradisi mereka.

Pada musim haji masa itu, para Sufah melakukan kebiasaannya memimpin para jamaah haji. Qushay dan para pendukungnya dari suku Quraish, Kinanah, dan Qudha’ah mendatangi para Sufah di Aqabah dan menyatakan bahwa mereka lebih berhak memimpin para jamaah haji daripada para Sufah. Perang pun tidak terhindarkan dan kemenangan diraih oleh Qushay bin Kilab.

Urusan dengan Sufah selesai, Khuzaah dan Bani Bakar menunggu giliran. Namun mereka tidak tinggal diam, kedua suku ini bersatu untuk menggagalkan usaha Qushay menguasai Makkah. Pertempuran pun terjadi kembali, korban dari kedua belah pihak sangat banyak. Hingga pada akhirnya mereka memilih gencatan senjata dan memilih untuk melakukan perjanjian damai.

Seperti kebiasaan orang Arab sebelumnya, perjanjian damai ini dengan mendatangkan seorang hakim. Ialah Ya’mur bin Auf keturunan Kinanah menjadi penengah di antara mereka. Ya’mur pun memutuskan dengan keputusan yang juga sangat kontroversi waktu itu.

Dia memberi tiga keputusan yang tidak bisa saya percaya saat saya sendiri membacanya. Tiga keputusan itu ialah (1) Bahwa Qushay bin Kilab diputuskan menjadi penguasa yang sah di Makkah, (2) Qushay dan para sekutunya tidak akan mengganti kerugian yang dialami Suku Khuzaah dan Bani Bakar, dan (3) Khuzaah dan dan para sekutunya harus mengganti kerugian yang dialami Qushay bin Kilab selama pertempuran.

Gayung bersambut, Qushay akhirnya berhasil menguasai Makkah seutuhnya. Ia juga tercatat sebagai manusia pertama yang menguasai lima hal potensial di Makkah yaitu: Siqayah (menjamin minum para jamaah haji), rifadah (menjamin makan para jamaah haji), hijabah (menjamin keamanan Makkah), liwa’ (pemegang otoritas deklarasi perang), serta nadwah (pemegang otoritas dewan musyawarah di Makkah). Di tangan Qushay-lah suku Quraish akhirnya mampu berkumpul di sekitar Kakbah setelah sebelumnya tinggal terpisah-pisah.

Menariknya, selama Qushay bin Kilab berkuasa, dia menjamin tradisi setiap suku yang tinggal di sekitar Makkah. Agama, tradisi, dan kebiasaan para bani di sekitarnya tidak boleh diubah. Semisal keluarga Shafwan, ‘Adwan, Nas’ah, Murrah bin Auf, mereka semua dijamin oleh Qushay bin Kilab untuk melanjutkan tradisi mereka.

Dari sinilah saya katakan bahwa meskipun cara Qushay menguasai Makkah sangat kontroversial (bila dilihat dengan kacamata zaman sekarang), namun cara memimpinnya ini sangatlah pluralis dan mengedepankan persatuan dengan menjamin tradisi mereka.

Namun, sayangnya, narasi Ibnu Hisyam selanjutnya kurang bisa saya terima. Ibnu Hisyam mengatakan, “Mereka tetap menjaga tradisi masing-masing sampai Islam datang menghancurkan itu semua.”

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Ibnu Hisyam, saya ingin langsung saja berkata kepadanya:

“Wahai Syaikh Ibnu Hisyam, saya ingin menegaskan, Nabi Muhammad melanjutkan model kepemimpinan leluhurnya Qushay bin Kilab. Beliau, Nabi Muhammad juga menjamin tradisi setiap suku yang beliau tempati di sekitar Madinah dengan piagam yang paling monumental namun kian dilupakan Umat Islam. Shahifah Madinah.”

Share this post

About the author

Kolomnis dan Dosen di UIN Satu Tulungagung