Sudut Pandang

Tazkiyah Digital: Detoksifikasi Teknologi Perspektif Tasawuf

Tazkiyah Digital: Detoksifikasi Teknologi Perspektif Tasawuf

Kehidupan manusia kontemporer kini tak terlepas dari jaring digital. Sebuah ekosistem virtual yang mengikat manusia dalam arus informasi tanpa jeda. Dalam teropong Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah user internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221,56 juta orang. 

Angka tersebut sepadan dengan 78,19% dari total penduduk Indonesia yang sebanyak 275,77 juta jiwa, dari paparan ini jelas terlihat bagaimana manusia telah benar-benar masuk dan merasuk ke ruang digital.

Dari bangun tidur hingga mimpi lagi, kita terhubung dalam ritme teknologi yang berdenyut di saku dan layar-layar elektronik. Disrupsi digital ini memang menawarkan berbagai keajaiban efisiensi dan akses informasi.

Namun, apakah kita pernah berhenti sejenak untuk merenung atau apakah ada efek “racun virtual” yang diam-diam menggerogoti kedamaian jiwa kita?

Ketergantungan yang berlebihan pada perangkat digital sering kali membawa polusi mental yang menghilangkan esensi kedalaman spiritual kita.

Konsep tazkiyah (penyucian) yang dilahirkan dan diasuh di dalam tradisi sufisme adalah tentang penyucian diri dan jiwa dari segala yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada “Yang Maha Asyik.”

Al Ghazali dalam The Alchemy of Happiness (1991) menggarisbawahi pentingnya tazkiyah sebagai upaya kontinu dalam mengendalikan nafsu duniawi dan mencapai pencerahan spiritual.

Di tengah hiruk-pikuk digital inilah konsep tazkiyah digital lahir—sebuah usaha untuk “memurnikan” kembali jiwa yang terpolusi teknologi melalui pendekatan sufistik.

Tazkiyah, menekankan pentingnya proses pengelupasan diri dari “racun-racun eksistensial” agar jiwa bisa kembali pada esensi tertinggi: kedekatan dengan Sang Maha Asyik.

Dalam konteks ini, tazkiyah digital bisa dipahami sebagai detoksifikasi jiwa dari ketergantungan digital, yang dipadukan dengan nilai-nilai kontemplatif dan disiplin spiritual ala tasawuf.

Kita hidup dalam apa yang disebut Jean Baudrillard—dalam Simulacra and Simulation (1994) sebagai late-capitalism hyperreality—sebuah tatanan masyarakat di mana representasi digital menggantikan realitas konkret.

Media sosial menjadi katedral virtual yang menawarkan validasi instan, dan bunyi notifikasi menjadi semacam panggilan “azan” baru yang membuat manusia selalu siap terjaga.

Tanpa sadar, kita terperangkap dalam spiral kecanduan teknologi yang menenggelamkan keseimbangan psikologis dan spiritual.

Sejalan dengan itu, David Chalmers dalam Reality+: Virtual Worlds and the Problems of Philosophy (2023)mengatakan bahwa memang sukar melepaskan diri dari jerat realitas digital. Sebab realitas virtual seolah sudah seperti realitas asli yang kita alami sehari-hari.

Dari perspektif sufistik, kecanduan teknologi ini bisa diibaratkan sebagai hujub/hijab, atau “tirai” yang menghalangi seseorang dari makrifat atau pengetahuan batin tentang dirinya sendiri dan Sang Pencipta.

Tirai ini menjadi semakin tebal ketika kita menghabiskan terlalu banyak waktu dalam dunia digital yang didominasi oleh narcissistic gaze (pandangan narsistik), di mana validasi eksternal mengalahkan pencarian makna batin.

Dalam konteks ini, ada baiknya kita merujuk pada pandangan Ibn ‘Arabi dalam The Meccan Revelations (2004). Ia memberikan semacam wejangan bahwa jika jiwa manusia terperangkap dalam “tirai” duniawi akan kehilangan kesadarannya terhadap realitas spiritual yang lebih mendalam.

Inilah mengapa tazkiyah digital sangat dibutuhkan—untuk menghilangkan “kebisingan” dunia maya dan kembali menemukan deeply inner heart voice.

Tazkiyah: Menyucikan Jiwa di Tengah Distraksi Virtual

Dalam khazanah sufistik, tazkiyah mengacu pada proses penyucian jiwa dari sifat-sifat yang kotor seperti egoisme, cinta dunia yang berlebihan, dan ketergantungan pada materi.

Proses penyucian ini mencakup pengelolaan diri melalui introspeksi mendalam (muhasabah), penyesalan atas kesalahan (taubah), dan transformasi spiritual melalui zikir serta muraqabah (kesadaran akan pengawasan Tuhan).

Dalam konteks digital, tazkiyah ini dapat diterjemahkan ke dalam bentuk detoksifikasi dari toxic digital influx, yang membanjiri pikiran kita bak air bah yang tak bisa dibendung itu.

Bagaimana proses tazkiyah ini bisa diaplikasikan dalam lanskap kehidupan modern yang dibanjiri oleh algoritma dan data?

Di sinilah muncul gagasan menarik tentang “tazkiyah digital,” yang dapat diartikan sebagai upaya untuk melepaskan diri dari penjajahan virtual, tidak dengan cara eskapisme total, tetapi dengan mengatur ulang hubungan kita dengan teknologi.

Ada beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk menangkal “racun virtual” tersebut. Langkah pertama, melakukan muhasabah digital, yaitu melakukan audit atau introspeksi kritis terhadap perilaku digital kita.

Pertanyaan yang harus diajukan: seberapa besar waktu yang kita habiskan di dunia maya? Apakah interaksi kita dengan teknologi mendekatkan kita pada tujuan spiritual atau justru menjauhkan?

Introspeksi ini mirip dengan deep cleanse dalam praktik kesehatan, di mana kita perlu membersihkan “racun digital” yang menyusup ke dalam kesadaran kita.

Ibn ‘Arabi (2004) mengajarkan bahwa mengaudit, menggeledah, menginstropeksi batin adalah kunci untuk membangkitkan awareness terhadap dimensi spiritual yang tersembunyi di balik pengalaman duniawi.

Setelah muhasabah, datanglah taubat digital—pertaubatan yang bukan hanya terkait dengan dosa-dosa moral, tetapi juga keterikatan berlebihan pada teknologi. Ini bukan berarti menghilangkan teknologi dari kehidupan kita, tetapi merekontekstualisasinya.

Teknologi harus dilihat sebagai sarana, bukan tujuan. Kita perlu mengambil jeda, misalnya dengan digital fasting—puasa dari media sosial, internet, atau perangkat digital tertentu dalam kurun waktu tertentu. Sebagaimana yang dikonseptualisasikan Nasr dalam Islamic Spirituality: Foundations (1991) bahwa hal tersebut senapas dengan uzlah (isolasi diri) dalam tradisi sufi.

Teknologi tidak harus menjadi musuh spiritualitas. Bahkan, ia bisa menjadi alat yang membawa kita lebih dekat pada Allah jika digunakan dengan benar.

Dalam tazkiyah digital, kita bisa menciptakan rutinitas spiritual baru seperti zikir digital, yang melibatkan penggunaan aplikasi meditasi zikir atau membaca kitab-kitab sufistik melalui e-reader.

Namun, seperti yang ditelurkan Nasr di dalam banyak karyanya, yang terpenting adalah menempatkan Allah sebagai pusat dari segala aktivitas, termasuk aktivitas digital.

Muraqabah secara klasik berarti kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi setiap perbuatan kita. Dalam tazkiyah digital, muraqabah bisa berarti selalu sadar akan dampak dari setiap tindakan kita di dunia maya.

“Ketergantungan yang berlebihan pada perangkat digital sering kali membawa polusi mental yang menghilangkan esensi kedalaman spiritual kita.”

Itu termasuk pengawasan terhadap konten yang kita konsumsi, jejak digital yang kita tinggalkan, hingga interaksi kita dengan orang lain di media sosial.

Ada istilah menarik yang bisa diangkat dalam konteks ini: digital mindfulness—kesadaran penuh tentang bagaimana teknologi digunakan dan bagaimana ia mempengaruhi kita secara batiniah.

Efek Transformatif dari Tazkiyah Digital

Seperti halnya detox, tazkiyah digital memiliki efek transformatif pada jiwa dan raga. Pertama, secara psikologis, detox digital akan meredakan apa yang disebut infobesity; kebanjiran informasi yang membuat otak lelah.

Kedua, secara emosional, mengurangi ketergantungan teknologi akan membebaskan kita dari jebakan dopamine rush yang dihasilkan oleh notifikasi media sosial, dan memberi ruang untuk mengembangkan hubungan yang lebih otentik dengan orang-orang di sekitar kita.

Ketiga, secara spiritual, tazkiyah digital membuka jalan bagi pengalaman transenden dan kedekatan yang lebih intim dengan Tuhan.

Pada akhirnya, tazkiyah digital bukanlah bentuk ekstrem dari penolakan terhadap teknologi, tetapi sebuah gerakan “wasathiyah” yang menawarkan keseimbangan antara kehidupan digital dan pencapaian makna spiritual.

Dunia digital bisa menjadi lahan baru untuk bermeditasi, asalkan kita bisa mengontrol penggunaannya dan tetap memprioritaskan kedalaman spiritual di atas segala gangguan virtual.

Di tengah derasnya arus informasi dan hiruk-pikuk virtual, tazkiyah digital menawarkan solusi yang tak hanya menyentuh ranah mental dan emosional, tetapi juga spiritual.

Konsep ini menjadi jembatan antara dunia modern yang penuh distraksi dengan tradisi sufistik yang menawarkan jalan menuju pencerahan batin.

Dengan demikian, mempraktikkan tazkiyah digital bukan sekadar untuk detox teknologi, tetapi lebih dari itu untuk membangun kembali ruang kontemplasi di tengah arus informasi yang merangsek dan menggrogoti diri. []

Share this post

About the author

Penulis adalah alumnus Pascasarjana UIN SATU Tulungagung