Diskursus Corner

Seri Bedah Tesis 2: Talal Asad dan Diskursus Islam Nusantara

Seri Bedah Tesis 2: Talal Asad dan Diskursus Islam Nusantara

Ahmad Kowim Sabilillah—penulis dan peneliti Diskursus Institute—meneliti isu yang menarik: Islam Nusantara dalam perspektif Talal Asad. Risetnya itu merupakan pertanggungjawaban untuk memeroleh gelar magister filsafat di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Kegiatan diskusi ini digelar pada seri bedah tesis Diskursus Corner kedua, pada tanggal 30 September 2024 bertempat di warung kopi Rumah Kacang, Ds. Tanjungsari, Kec. Boyolangu, Kab. Tulungagung.

Kowim—sapaan akrab Ahmad Kowim Sabilillah—menyampaikan ketertarikannya pada pemikiran Talal Asad. Perjumpaannya dengan Talal bermula dari ia mengenal pemikiran ayahnya lebih dulu: Muhammad Asad. Ketika itu, Khowim menjadikan Muhammad Asad sebagai tema skripsinya.

 “Awalnya saya mengenal Talal Asad hanya sekadar namanya sebagai anak dari Muhammad Asad—tokoh yang saya hadirkan dalam tugas skripsi saya. Kemudian saya tertarik untuk mengkaji pemikirannya lebih dalam dan mendiskusikannya dengan senior dan dosen pascasarjana,” ungkap Kowim.

Talal Asad, tutur Kowim, membentuk suatu landscape pemikiran Islam diskursif karena ia mengalami kegelisahan dalam melihat variasi atau berbagai hal terkait praktik orang berislam di belahan dunia yang pernah ia singgahi.

Baca juga: https://diskursusinstitute.org/2024/09/19/membincang-cultural-studies-dan-relasinya-dengan-isu-isu-keagamaan/

Menurut pria kelahiran Tulungagung ini, Talal coba mempertanyakan kembali terkait seperti apa otoritas keagamaan Islam yang patut difalsifikasi sebagai kebenaran?

Sejalan dengan hal itu, Kowim akhirnya coba memakai kacamata konseptual gagasan pemikiran Talal Asad dalam melihat dinamika Islam Nusantara. Menurutnya, Talal berpendapat bahwa agama harus dilihat sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor historis, politik dan budaya.

“Menurut Asad, agama tidak dapat dipahami hanya sebagai perangkat doktrin teologis, tetapi juga sebagai praktik yang berjalin kelindan dengan kekuasaan dan pengetahuan,” ungkap Kowim menjelaskan.

Sehingga, tambahnya, pemikiran tersebut relevan untuk menganalisis Islam Nusantara, yang tidak hanya dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan, tetapi juga oleh konteks sosial-budaya Indonesia yang beragam.

Pemikiran Talal oleh Kowim akhirnya dipetakan menjadi 3 (tiga) bagian. Pertama, evaluasi atau kritik pandangan lama (aliran esensialis). Evaluasi atas pola pemahaman meliputi pendekatan tekstual mempelajari Islam berdasarkan referensi tekstual (universal), dan Islam dipandang dalam laku dan praktik (lokal).

Kedua, Islam sebagai tradisi diskursif. Sebagai tradisi diskursif, Islam memerintahkan untuk mencari bentuk agama yang benar dan mencari tujuan dalam mengamalkan ajaran agama.

Dalam hal ini juga, wacana dan praktik Islam berhubungan dengan preseden masa lalu serta bertransformasi untuk beradaptasi dengan tuntutan nyata dan obyektif di sekitarnya.

Ketiga, pemikiran Talal menjadi menarik karena masuk dalam domain pendekatan antropologi Islam. Artinya, fleksibilitas pendekatan itu bisa digunakan untuk melihat setiap fenomena ke(be)ragam(a)an yang unik. Selain itu, seluruh ekspresi keagamaan (baik diskursus maupun praksis) harus diposisikan dengan tepat.

Dalam analisa Kowim, Islam Nusantara yang secara istilah kembali mencuat pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 tahun 2015 itu, jika ditilik dari kacamata Talal Asad merupakan wujud dari Islam yang bertransformasi.

Menurutnya, Islam Nusantara telah bertransformasi dari “Islam murni” yang muncul sejak abad 6 Masehi. Selanjutnya, dari kontestasi dan adaptasi akhirnya Islam berkembang dan mengalami transformasi. Perubahan itu akibat dari persentuhannya dengan kebudayaan.

Lebih detail lagi, Kowim menyoroti proses sekularisasi dalam Islam Nusantara. Ia menghadirkan berbagai pendekatan untuk mendefinisikan Islam Nusantara,
salah satunya dari poskoloniaslisme.

Menurutnya, proses sekularisasi yang dimaksud adalah terjadinya polarisasi praktik Islam (di) Nusantara dari yang awalnya berbasis di pondok pesantren akhirnya mulai dijalankan secara formal melalui organisasi keislaman, seperti Sarekat Islam (SI), Masyumi, NU, dan lain sebagainya.

“Adapun kelahiran Islam Nusantara ini dimunculkan oleh orang-orang yang bertalian langsung dengan negara. Narasi penciptaan epistemologi Islam Nusantara tidak terlepas dari proyek-proyek pemerintah dalam mendanai Islam Nusantara sebagai khasanah bersama” jelas Kowim bernada kritik.

Hasil pemaparan Kowim menghasilkan dialektika dengan audiens yang tak kalah menarik. Ahmad Natsir—salah seorang peserta diskusi—turut mengomentari apa yang disampaikan oleh pemateri.

Menurut Natsir, lahirnya Islam Nusantara itu apakah bisa dimaknai sebagai bentuk ketakutan kaum tradisional atas dominasi “Islam Kanan?” Lebih jelasnya, Islam Nusantara—dalam kacamata Talal—tidak lahir dari ruang kosong melainkan ada kepentingan politik maupun ideologis.

Dalam menutup perdiskusian, Kowim menyimpulkan bahwa Talal sesungguhnya tidak berusaha untuk membatasi ekspresi keagamaan apa pun. Hanya saja semua itu merupakan ekspresi yang ke(be)ragam(a)an yang tentu bertaut erat dengan ideologi, kuasa dan lain sebagainya. []

Share this post

About the author

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung