Sudut Pandang

Makna Lailatul Qadar: Sebuah Penelusuran Kronologis

Makna Lailatul Qadar: Sebuah Penelusuran Kronologis

Diperlihatkan kepadaku lailatul qadar, sungguh aku telah dibuat lupa dengannya. Carilah lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan pada hari ganjil. Aku melihat diriku sujud di atas air dan lumpur. Siapa pun yang beriktikaf dengan Rasulullah Saw., hendaklah dia pulang.” Mereka pun pergi dari masjid dan tidak melihat satupun gumpalan awan. Tiba-tiba mendung datang dan turun hujan. Iqamat berkumandang, Rasulullah sujud di atas air dan lumpur, aku melihat bekas lumpur di ujung hidung dan dahinya (Al-Bukhari: 2032).

Setelah membaca hadis di atas, saya membayangkan sosok Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadis tersebut dengan dengan penuh khidmat. Ia kemudian menceritakan, saat itu air hujan menembus atap pelepah kurma masjid, mengguyur seorang laki-laki yang sedang bersujud dengan tenang dan seakan tenggelam dalam kasih sayang-Nya.

Umat Islam saban tahun memburu momen sakral yang dikabarkan terjadi hanya satu tahun sekali di bulan Ramadan: lailatul qadar. Ada yang menanti momennya dengan beribadah di rumah, dan ada juga yang ramai-ramai berdiam di masjid (iktikaf) terutama pada 10 malam terakhir bulan puasa.

Seperti dikatakan oleh para mufasir, malam lailatul qadar adalah momentum saat Allah menentukan takdir manusia pada setiap tahunnya. Hal demikian juga termasuk dalam malam ketika Al-Qur’an secara utuh turun dari lauh mahfuz ke langit dunia. Lailatul qadar juga malam saat ayat pertama kali turun kepada Nabi Muhammad (al-Tabari, 2000: 24/531).

Meskipun begitu, tidak ada riwayat yang jelas yang menggambarkan kapan lailatul qadar terjadi. Ada yang meriwayatkan malam itu terjadi pada sembilan atau tujuh hari terakhir (al-Bukhari: 2022); malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadan (al-Bukhari: 2017); malam ke-27 (al-Bukhari: 4470; Abu Dawud: 1386); ataupun malam ke-24 (Ahmad: 23890; al-Maqdisi: 3/57).

Berbagai perbedaan riwayat itu mengindikasikan sebuah imbauan kepada seluruh umat Islam untuk tetap semangat dalam menjalankan ibadah di setiap malam Ramadan. Al-Razi (2000) dalam tafsirnya memberikan analogi hikmah dari kerahasiaan lailatul qadar itu terjadi.

Pertama, Allah (sengaja) menyembunyikan lailatul qadar agar kita mengagungkan seluruh malam Ramadan tanpa mengistimewakan pada malam-malam tertentu saja.

Kedua, Allah menyembunyikannya agar kita terhindar dari godaan penyalahgunaan lailatul qadar dengan sengaja berbuat dosa dan memohon ampun pada malam tersebut.

Ketiga, agar kita senantiasa berusaha untuk mencarinya, dan kita mendapat pahala atas kesungguhan itu.

Keempat, saat kita tidak yakin bahwa malam ini adalah lailatul qadar kita akan mengusahakan diri dalam ketaatan dalam setiap malam sambil berharap bahwa malam ini adalah malam mulia tersebut.

Namun, ada makna yang sedikit berbeda bila kita menelusuri QS. Al-Qadar secara kronologis. Sebagai catatan, para ulama berbeda pendapat dalam mengurutkan ayat ini.

Sebagian ulama mengatakan bahwa surat Al-Qadar masuk dalam golongan surat Makkiyah. Sedangkan sebagian ulama lain memasukkannya ke dalam golongan surat Madaniyyah.

Lailatul Qadar: Motivasi atas Agama “Baru”

M. Abid Al-Jabiri, penulis kitab Fahm al-Quran al-Karim itu, memasukkan surat Al-Qadar ke dalam golongan surat Madaniyyah.

Ia berargumen bahwa surat ini mempunyai keterkaitan erat dengan surat Al-Baqarah terutama dalam term Ramadan.

Menurutnya, boleh jadi ayat ini turun setelah surat Al-Baqarah, boleh jadi turun di tengah surat Al-Baqarah.

Ia menambahkan bahwa syariat tentang qisas, wasiat, puasa Ramadan, perang pada bulan-bulan haram, haji-umrah dan beberapa kewajiban yang lain merupakan penjelasan yang rinci dari proyek besar Nabi Muhammad, yaitu mengembalikan ajaran agama kepada Nabi Ibrahim.

Kita tentu pernah mendengar tentang peristiwa tahwil qiblah (pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis kepada Masjidil Haram/Kakbah), penetapan wukuf di Arafah dan hubungannya dengan hums yang sudah saya jelaskan di artikel sebelumnya.

Dalam surat Al-Baqarah, setidaknya ada lima belas tema permasalahan yang dijabarkan. Mulai dari politik, hukum keluarga, ibadah, dan akhlak.

Penjelasan dari berbagai permasalahan tersebut menjadi pondasi penting agama “baru” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. M. Abid Al-Jabiri (2009) menyebutnya dengan “Syariah Muhammadiyah Ibrahimiyyah.

Di sini, lailatul qadar membawa misi penting sebagai pendukung ke arah proyek besar yang diemban Muhammad—sekali lagi—mengembalikan ajaran Nabi Ibrahim yang sudah mulai lekang oleh zaman. Dengan lailatul qadar, umat Islam awal akan termotivasi untuk beribadah.

Peran lailatul qadar sebagai motivasi ini tampak pada sejumlah riwayat penyebab surat ini turun. Mujahid (tt: 5/150) meriwayatkan dalam tafsirnya bahwa nabi menyebut seorang kisah laki-laki dari Bani Israil yang mengenakan peralatan perang fisabilillah selama 1000 bulan dan tidak pernah melepasnya.

Para sahabat terheran-heran, (dalam riwayat yang lain mereka berharap agar umat Nabi Muhammad mendapat keutamaan serupa) kemudian Allah menurunkan ayat, “lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan.”

Di sisi lain, Abu Hatim (w. 939) meriwayatkan kisah yang berbeda. Dari Ali b. ‘Urwah menceritakan bahwa suatu hari Nabi Muhammad menuturkan kisah empat orang Bani Israil yang beribadah selama 80 tahun dan tidak pernah bermaksiat sedetik pun.

Para sahabat heran mendengar hal tersebut. Jibril kemudian datang mengatakan,
“Ya Muhammad, jika umatmu heran dengan ibadah orang-orang itu selama 80 tahun dan tidak pernah bermaksiat sedetik pun. Maka Allah menurunkan yang lebih baik dari semua itu.”

Kemudian Jibril membaca surat al-Qadar, “Ini lebih baik dan afdal dari apa yang membuatmu dan umatmu terheran-heran.” Kemudian Nabi Muhammad dan para sahabatnya merasa senang dengan hal itu.

Ya, motivasi ibadah di sini adalah ibadah yang selalu didapatkan secara naql (taken for granted) yang membutuhkan kepatuhan tanpa bertanya. Sami’na wa ata’na. Wallahu a’lam. []

Share this post

About the author

Kolomnis dan Dosen di UIN Satu Tulungagung