Sudut Pandang

Sosok Pemimpin Titisan Bathara Wisnu dalam Kisah Pewayangan

Sosok Pemimpin Titisan Bathara Wisnu dalam Kisah Pewayangan

Entahlah, apakah mayoritas masyarakat Indonesia sudah mengenal wayang (wayang kulit)? Tentu, kalau masyarakat Jawa sebagian besar sudah mengenal wayang yang merupakan warisan para leluhur orang Jawa. Demikianlah kenyataannya, kesenian wayang kulit memang merupakan sumber inspirasi bagi masyarakat Jawa (Sri Moeljono: 1977).

Selain itu wayang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan leluhur Jawa, kendati masyarakat Jawa mengakui bahwa kerangka dasar cerita wayang berasal dari wiracarita India klasik, terutama Mababharata.

Simbolisme tersebut merujuk adanya keterkaitan antara jagad cilik dan jagad gedhe, struktur alam batin dan dunia fisik yang ada di dalamnya. Aspek-aspek teknis sebagaimana wayang dibuat dan dipertunjukkan mencerahkan jiwa dengan muatan mistis yang dikandung dalam drama pertunjukan tersebut (Paul Stange: 1988).

Setidaknya dengan adanya tayangan film Mahabharata dan Ramayana di televisi swasta beberapa tahun silam dapat mengingatkan kembali mengenai cerita dalam pewayangan (wayang kulit).

Bahkan, kita sebagai bangsa Indonesia terutama orang Jawa tentunya merasa bangga dan bersyukur karena kesenian wayang kulit telah diakui sebagai “warisan dunia” oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di markasnya New York, Amerika Serikat pada tahun 2003. Bukan hanya seni wayang kulit saja, tetapi juga batik, keris, dan gamelan.

Berbicara mengenai wayang kulit, sebenarnya ada hal penting di dalamnya yang patut kita bicarakan. Apakah gerangan? Hal itu tak lain dan tak bukan pelajaran mengenai tokoh pemimpin yang bersifat protagonis (berwatak baik) yang berhadapan dengan tokoh jahat yang bersifat antagonis.

Sebagaimana para Rasul dan Nabi sebagai utusan Allah Swt menjadi khalifah di muka bumi tentu akan menghadapi kaumnya yang bengal dan jahat. Sebut saja Nabi Ibrahim a.s menghadapi Raja Namrud, Nabi Musa menghadapi Raja Fir’aun, Nabi Isa menghadapi para pembesar Yerusalem, dan Nabi Muhammad Saw menghadapi kaum Qurasy Arab yang jahiliah.

Kalau dalam wayang kulit (pewayangan) kita mengenal tokoh pemimpin penting dalam setiap era atau zaman. Mereka adalah para raja (kesatria utama) titisan Bathara Wisnu yang mengemban misi penting memayu hayuning bawana (menyelamatkan dan melestarikan bumi seisinya) dan menegakkan kebenaran dan keadilan dengan semboyan sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (keangkaramurkaan dan kejahatan akan hancur oleh kebenaran).

Sebagai titisan Bathara Wisnu, para raja tersebut berusaha mewujudkan keadaan negaranya gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja (keadaan tanah yang subur dan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya).

Sebagai Raja binathara (raja berwibawa) dan kesatria utama, maka mereka memiliki ilmu kepemimpinan bagi seorang raja yang disebut Ngelmu Hasthabrata; yakni ilmu dengan meneladani 8 (delapan) unsur alam: meneladani bumi, banyu (air), geni (api), angin (udara), surya (matahari), rembulan (bulan), kartika (bintang) dan samudera.

Dengan ilmu kepemimpinan itu, maka para raja titisan Bathara Wisnu dapat mengemban kepemimpinan di negaranya dengan adil dan bijaksana, sehingga mampu mengantarkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya (Wawan Susetya: 2016). Lantas, siapakah sosok pemimpin sentral dalam pewayangan tersebut?

Harjuna Sasrabahu, Rama Wijaya dan Bathara Kresna

Dalam pewayangan, setidaknya kita mengenal beberapa nama sebagai titisan Bathara Wisnu sebagai simbol pemelihara alam semesta: Pertama, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu, Raja Maespati (yang hidup sebelum era Ramayana dan Mahabharata). Kedua, Sri Rama Wijaya, Raja Pancawati (pada masa Ramayana). Ketiga, Sri Bathara Kresna, Raja Dwarawati (era Mahabharata).   

Meski tidak hidup sezaman atau tidak bersamaan, tetapi Prabu Sri Harjuna Sasrabahu (Raja Maespati) dan Sri Rama Wijaya (Raja Pancawati) sama-sama menghadapi musuh yang sama, yakni Prabu Dasamuka, Raja Alengkadiraja.

Pada masanya, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu pernah menghajar habis-habisan Prabu Dasamuka yang terkenal adigang-adigung-adiguna. Prabu Harjuna Sasrabahu bahkan merangket tangan Prabu Dasamuka dengan rantai baja lalu diseret dengan kereta dipertontonkan kepada rakyanya di Negara Maespati.

Kemudian Prabu Harjuna memasukkan Prabu Dasamuka ke dalam gedhong waja (gedung baja) sebagai hukuman atas tindakannya yang semena-mena. Setelah itu Prabu Harjuna Sasrabahu puput ing yuswa (meninggal dunia), sedang Prabu Dasamuka masih berjaya di Alengkadiraja.

Maka yang bertugas menghadapi kelaliman Prabu Dasamuka berikutnya Prabu Rama Wijaya, putra Prabu Dasarata (Raja Ayodya). Yang menjadi permasalahan yakni diculiknya Dewi Shinta istri Prabu Rama Wijaya oleh Prabu Dasamuka.

Maka Prabu Rama Wijaya dengan dibantu Prabu Sugriwa (Raja Gua Kiskendha) mengerahkan bala wanara (prajurit kera) menyerang ke Alengkadiraja. Terjadilah perang dahsyat antara bala wanara (prajurit kera) Gua Kiskendha dengan wadya bala raseksa (prajurit raksasa) Alengkadiraja tak terelakkan.

Singkat cerita, peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak Prabu Rama Wijaya. Prabu Dasamuka tewas setelah terkena senjata panah Kyai Goa Wijaya milik Sri Rama Wijaya.  

Titisan Bathara Wisnu selanjutnya Sri Bathara Kresna (Raja Dwarawati) yang hidup sezaman dengan para Pandhawa (era Mahabharata). Kali ini darma (kewajiban) yang diemban oleh Kresna Raja Dwarawati, yaitu bersama-sama para Pandhawa (Prabu Yudhistira, Werkudara, Arjuna, Nakula-Sadewa) menghadapi kejahatan para Kurawa yang dikomando oleh kakak tertuanya Prabu Duryudana (Raja Astinapura).

Perang besar antara para Pandhawa dan Kurawa itulah yang disebut dengan Perang Bratayuda Jayabinangun yang dimenangkan pihak Pandhawa. Dalam perang itu, Sri Bathara Kresna berjanji tidak mengangkat senjata, tetapi ia hanya menjadi kusir kereta Raden Arjuna.

Memang, selain keduanya masih sepupu atau saudara dekat, antara Prabu Kresna dan Raden Arjuna itu ibaratnya seperti suruh (daun sirih); “suruh, lumah lan kurebe yen ginigit padha rasane” (daun sirih, antara permukaan maupun bagian yang bawah kalau digigit rasanya sama). Begitulah adanya. []

Share this post

About the author

Penulis adalah sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung-Jawa Timur