Sudut Pandang

Tiga Rukun Islam: Menimbang Kembali Pemikiran Muhammad Syahrur

Tiga Rukun Islam: Menimbang Kembali Pemikiran Muhammad Syahrur

Sebagai Muslim, saya secara pribadi percaya dan mengimani bahwa rukun Islam berjumlah lima. Kelima rukun Islam ini bersandar kepada hadis Nabi Muhammad Saw. Paling tidak, ada dua hadis yang masyhur menjadi dasar rukun Islam ini.

Pertama, adalah hadis buniyal Islam (al-Bukhari: 7, Muslim: 20 & 21, Al-Nasai: 11732, Baihaqi: 1561, Al-Tirmizi: 2534, Ibnu Hibban: 2534, Ahmad: 4567). Kedua, hadis Jibril (al-Bukhari: 4499, Muslim: 106, Ibnu Hibban: 173, Ahmad b. Hambal: 184, Al-Nasa’i: 4905, Ibn Majah: 62 & 63). Pun, para ulama Sunni sudah menyepakati bahwa rukun Islam memang lima hal tersebut. Syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.

Namun, ketika saya membaca buku Muhammad Syahrur (1938-2019) yang berjudul Al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam (1996) saya menemukan gagasan yang cukup menarik. Gagasan yang saya maksud ialah perihal rukun Islam yang tidak lagi lima akan tetapi tiga.

Kendati demikian, tulisan ini tidak hendak mengafirmasi pandangan Syahrur tersebut secara an-sich, melainkan hanya menyuguhkan sebuah gagasan yang bisa (kembali) kita diskusikan dan perdebatkan dalam konteks akademik.

Kegelisahan

Jika kita menyandarkan rukun Islam atas kelima rukun yang selama ini kita kenal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan, “Bagaimana dengan ‘nasib’ hadis lain yang menyatakan hal yang sama (tentang asas-asas Islam) tapi mempunyai substansi yang berbeda?” Sebut saja hadis “Islam itu ada 8 Bagian” (Al-Thayalisi: 413, Bazzar: 2927, Al-Bayhaqi: 7585) yang menambahkan amr bi al-ma’ruf, nahy ‘an munkar, dan jihad masuk dalam bagian Islam.

Atas dasar pengamatan Syahrur tentang penjabaran sosok “Muslim” dari al-Tanzil,  ia kemudian memberikan kesimpulan rukun Islam yang berjumlah “tiga pokok utama”: (1) Iman atas eksistensi Allah Swt.; (2) Iman atas adanya hari akhir (hari kebangkitan); dan (3) Amal saleh.

Atau bagaimana dengan hadis, “Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad.”(al-Tirmidzi: 2541, al-Nasai: 11394)? Atau hadis “Islam yang baik adalah memberi makan (ith’am al-tha’am) dan mengucapkan salam” (al-Bukhari: 12) yang bahkan al-Bukhari meletakkannya dalam bab “Memberi makanan adalah bagian dari Islam?” Lalu, hadis yang diriwayatkan oleh Jarir b. Abdillah saat berbaiat kepada nabi atas tiga perkara: menegakkan salat, menunaikan zakat, dan nasihat untuk setiap Muslim (al-Bukhari: 55, Muslim 83)?

Lebih dari itu, ada sebuah hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah ditanya oleh seorang pemuda dari Najd yang menanyakan tentang Islam. Kemudian Nabi memberikan jawaban, “Lima salat dalam sehari dan semalam.” Kurang puas, pemuda itu menanyakan lagi, kemudian Rasulullah menjawab, “Tidak ada yang lain, selain kamu ingin menambah dan puasa Ramadhan.” Kemudian beliau Saw. menambahkan Zakat. (Muslim: 109, Al-Bukhari: 46, Ibn Hibban: 1724)

Jika kita renungkan, dan kita sama-sama mengakui bahwa landasan rukun Islam adalah dari hadis Nabi, bukankah semestinya kita mengakui bahwa ada beberapa hal selain 5 rukun Islam yang kita kenal yang sama-sama berasal dari hadis Nabi juga?

Tidak berhenti sampai di sini, kegelisahan seorang Syahrur berlanjut saat upayanya melakukan “sinkronisasi” antara konsep rukun Islam dari hadis Nabi dengan Al-Tanzil (al-Qur’an, dengan catatan Syahrur enggan menyamakan keduanya. Pen.).

Misalkan saja bagaimana memadukan antara rukun Islam yang lima dengan ke-muslim-man yang Allah sandangkan kepada Nabi Ibrahim dalam surat Ali Imran: 67. Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.

Makna “Muslim” yang disandang kepada Nabi Ibrahim itu bisa berarti setara dengan sebuah agama atau suatu hal yang lebih luas daripada itu, karena kata Muslim disejajarkan dengan Yahudi dan Nasrani. Hal ini berarti bahwa Muslim sebagai idiom dari “menyerahkan diri” bukanlah suatu yang tepat. Lantas jika Ibrahim adalah seorang Muslim bagaimana dengan syahadat, salat, puasa, serta zakat, dan hajinya?

Kemudian Hawariyyun juga disebut oleh Allah sebagai serorang Muslim dalam surat al-A’raf: 126. Kesaksian senada juga disematkan kepada Ya’qub dalam surat al-Baqarah: 132, Nuh dalam surat Yunus: 72-73, Luth dalam surat Al-Zariyat: 35-36, Yusuf dalam surat Yusuf: 101, Firaun dalam surat Yunus: 90, para penyihir Firaun dalam surat al-A’raf: 126, hingga para jin dalam surat al-Jin: 14.

Para Nabi, Firaun, hingga para jin dalam ayat-ayat di atas berada di konteks Nabi Muhammad belum dilahirkan. Tentu amat sulit apabila mereka diimajinasikan sudah bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Swt.

Perlu dicatat, dalam hal ini Syahrur berpegangan kepada konsep tidak ada sinonimitas dalam al-Tanzil seperti teori yang dikembangkan oleh Abu Ali al-Farisi (901-987 M). Sehingga Syahrur tentu tidak menyamakan makna antara mukmin dan Muslim dengan argumen yang ia gali dari al-Tanzil itu sendiri.

Sementara itu, jika kita perhatikan dalam al-Tanzil perihal rukun Islam berupa salat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji beberapa hal ini dibebankan kepada kaum mukmin bukan kaum Muslim, seperti Al-Nisa’: 103, Surat Al-Baqarah: 183, Al-Nur: 56, Al-Baqarah: 185. Jika memang demikian (hal-hal tersebut menjadi rukun Islam) mengapa misalnya konsep jihad, qital, qisas, syura, menepati janji tidak menjadi rukun Islam seperti rukun yang lainnya?

Tiga Rukun Islam: Kesimpulan

Dengan menilik beberapa permasalahan di atas, Syahrur menggali kembali dari Al-Tanzil tentang pilar-pilar Islam. Ada beberapa ayat yang ia kemukakan sebagai dasar atas hal ini. (1) ayat tentang jaminan atas orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in yang beriman kepada Allah dan hari akhir dalam Al-Baqarah: 62. (2) Ayat tentang amal salih dalam Surat Fussilat: 33, Al-Nisa’: 125, Al-Baqarah: 112. (3) Ayat tentang tentang Iman kepada Allah Al-Anbiya’: 108, Yunus: 90. Dan beberapa ayat lainnya yang cukup banyak menjelaskan tentang Islam dan Muslim.

Atas dasar pengamatan Syahrur tentang penjabaran sosok “Muslim” dari al-Tanzil,  ia kemudian memberikan kesimpulan rukun Islam yang berjumlah “tiga pokok utama”: (1) Iman atas eksistensi Allah Swt.; (2) Iman atas adanya hari akhir (hari kebangkitan); dan (3) Amal saleh.

Ketiga “rukun Islam” yang disimpulkan Syahrur tersebut akan memasukkan siapa saja yang menjalankannya menjadi sosok Muslim. Entah itu orang-orang yang beriman dan menjadi pengikut Nabi Muhammad Saw., pengikut Nabi Musa a.s. (Yahudi), atau pengikut Nabi Isa a.s. (Nasrani), atau pengikut ajaran atau agama yang lain selain tiga di atas seperti Majusi, Syifiyah, dan Budha (Sabiin).

Jika kita amati, Islam dengan tiga pilar perspektif Syahrur tampak lebih “presisi” jika digandengkan dengan nomenklatur “bayn al-mu’minin wa al-Muslimin” ([perjanjian] antara umat mukmin dan Muslim] yang terdapat dalam pembukaan Piagam Madinah. Di mana piagam tersebut merupakan perjanjian antara mukmin(pengikut Nabi Muhammad) dan Muslim(umat lain [Yahudi, hingga Pagan] yang ikut bersepakat atas perjanjian tersebut). Kita akan kesulitan memahami makna mukmindan Muslimjika kedua kata itu mempunyai makna atau orang yang sama.

Selanjutnya, Syahrur tidak memilih term “kafir” atau “non-Muslim” sebagai lawan kata dari Muslim, lantas kata apakah itu? Dan seperti apakah rukun Iman perspektif Syahrur? Semoga saya bisa menuliskannya di edisi selanjutnya. Salam.[]

Share this post

About the author

Kolomnis dan Dosen di UIN Satu Tulungagung