Sudut Pandang

Jajar Gumregah: Desa Sadar Budaya

Jajar Gumregah: Desa Sadar Budaya

Jika dilihat sekilas, Desa Jajar tampak biasa saja, seperti desa pada umumnya. Namun siapa sangka, desa yang terletak di Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek ini menyimpan banyak sekali potensi dan kearifan lokal (local wisdom) yang tak bisa dipandang sebelah mata. Pelan tapi pasti, sesuai slogan “gumregah” desa ini terus berbenah guna menuju berkah. 

“Gumregah” merupakan akronim dari “gerakan usaha mandiri warga untuk ekonomi generasi berkah.” Secara bahasa, “gumregah” atau “gregah” bisa juga dimaknai sebagai semangat kuat untuk bangkit. Lantas apa alasan desa ini mengusung slogan itu? Bangkit dari apa dan bagaimana caranya?

Dari pengamatan saya, slogan itu sengaja dipakai guna mempertegas visi-misi pemerintahan desa saat ini yang dipandegani oleh Imam Mukaryanto Edy. Mbah Ime— sapaan akrabnya—tipologi pemimpin yang tak bisa diam. 

Beberapa kali bertemu dan ngobrol dengannya, setelah sekian tahun berteman di media sosial, saya bisa memastikan kalau Mbah Ime adalah salah satu kepala desa yang “keras kepala.” Betapa tidak, banyak gebrakan-gebrakan out of the box yang ia lakukan dan mungkin dianggap utopis semata. Tapi memang demikian adanya, gebrakan atau hal ihwal hebat memang lahir dari ide yang awalnya dianggap utopis dan (mungkin) “gila”.

Mbah Ime banyak mengeksplorasi ide dengan fokus pada program khususnya berkaitan dengan pengembangan ekonomi, dan kebudayaan di desanya. Padahal secara geografis, desa ini boleh dibilang tidak begitu strategis; karena dihimpit oleh gunung dan desa-desa lainnya. Sehingga desa ini tidak berada pada jalur utama akses antarkecamatan.

Desa ini secara administratif terdiri dari tiga dusun: Krajan, Kebon dan Mbelik. Namun pihak desa lebih suka menggunakan istilah dukuh. Sebuah istilah yang pernah eksis pada masa lampau dan bahkan disebut dalam Kakawin Nāgarakṛtâgama. Mungkin bagi generasi tahun 1970 atau 1980-an istilah dukuh ini tentu lebih mengena dan menyipratkan memori tentang masa kecil mereka.

Saya bersama dengan tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) dan mahasiswa KKN Membangun Desa Berkelanjutan (MDB) dan UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung 2022 berkesempatan untuk belajar banyak hal di desa ini, kurang lebih selama 1 semester lamanya.

Potensi Desa

Jajar adalah desa dengan segudang potensi. Ada banyak potensi mulai dari kuliner, industri rumahan, ekonomi, dan budaya. Soal kuliner, Jajar punya makanan khas yang saya yakin sulit ditemukan di daerah lain. Nama makanan itu adalah “Cukdeh.” 

Istilah tersebut merupakan akronim dari “pincuk lodeh”; makanan tardisional yang terdiri dari lontong, dan sayur. Di tempat lain, makanan ini disebut sebagai sompil. Meskipun juga tidak sama persis. Secara penyajian, “Cukdeh” dibungkus dengan daun Jati muda. Kemudian ada lauk tempe goreng dengan balutan tepung berbentuk persegi panjang yang tidak ditemukan pada makanan sompil.

Selain itu, desa ini juga kaya akan potensi ekonomi lain seperti kerajinan tangan. Ada salah satu produk kerajinan tangan yang sudah menjebol pasar ekspor;  tas anyaman simpai. Selain itu, di desa ini juga memiliki banyak seniman dan “empu”. Mulai dari seniman lukis, pande besi sampai dengan ahli pahat kayu.

Fragmen Sejarah Desa

Saya berkesempatan untuk mengedit babad desa Jajar yang ditulis oleh mahasiswa KKN MDB UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Secara umum, desa ini boleh dikata menyimpan banyak cerita. Betapa tidak, Desa Jajar tak hanya mempunyai warisan (heritage) budaya melainkan juga punden dan situs.

Di desa ini terdapat satu punden bernama Sarean. Nama Sarean jangan dikira lekat dengan sebuah makam atau petilasan, melainkan merujuk pada sebuah sumber mata air. Menurut cerita yang beredar, sumber mata air ini sudah ada sejak lama dan bisa jadi dulunya merupakan tempat istirahat seorang pelancong sehingga dinamakan Punden Sarean. Lantas kenapa sumber mata air identik dengan punden?

Potret Punden Sarean pada masa lampau. Sumber: Arsip Desa Jajar.

Jika Anda pernah membaca buku Clifford Geertz yang kondang itu, The Religion of Java maka punden-punden yang ada di Jawa selalu identik dengan sumber mata air, pohon beringin besar, makam tua, dan lain sebagainya. Nah dengan demikian maka tak aneh bila Sarean ini dinamakan atau dikategorikan sebagai punden di Desa Jajar.

Selain itu, dari hasil penelusuran mahasiswa KKN MDB, di Desa Jajar juga ada semacam situs bernama Batu Lumpang. Dari penuturan para sesepuh desa, Batu Lumpang ini dulunya berfungsi sebagai penumbuk bahan pangan agar halus. Batu ini berukuran sedang dan berada di depan rumah warga.

Sayangnya, tidak ada yang tahu pasti sejak kapan Batu Lumpang tersebut ada. Yang jelas, dengan adanya situs tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa daerah Jajar sudah lama dihuni oleh peradaban manusia. Bisa jadi batu tersebut merupakan peninggalan masyarakat pada masa kerajaan. Batu yang diyakini sebagai situs tersebut juga dijadikan sebagai toponimi salah satu dukuh yang ada di Desa Jajar, yaitu “Nglumpang.”

Ada secarik kisah tutur yang cukup menarik tentang sejarah desa ini. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat, babad desa Jajar berawal dari dua tokoh yang berasal dari Tembayat, Jawa Tengah, yaitu Mbah Abdurrahman dan Mbah Jayagati pada tahun 1700-an.

Mereka—seperti yang ditulis dalam Jajar Gumregah: Sejarah, Potensi Desa, dan Kearifan Lokal (2022)—konon mengembara dari Tembayat menuju ke arah timur yang bisa jadi mampir singgah di Trenggalek. Mbah Abdurrahman dan Mbah Jayagati kemudian menemukan pohon Lo yang berjajar, yang kemudian daerah tersebut dinamakan sebagai Jajar. Namun pohon tersebut sudah tidak ada, pun kemungkinan masih bisa dilacak, karena terdapat daerah pedukuhan di Jajar yang bernama “Ngelo” yang diambil dari nama pohon tersebut.

Penamaan desa yang diambil dari nama pohon ini sebetulnya lazim terjadi sebagai bagian dari pusat-pusat kosmik dalam keyakinan masyarakat Jawa. Hal demikian dalam rentetan sejarahnya terus mengalami pergeseran dari jagat pegunungan ke pepohonan; dari pepohonan ke sungai; dari sungai ke lautan; dari lautan ke daratan, dan seterusnya (Misbahus Surur, 2020).

Versi lain menyebutkan bahwa asal muasal Jajar konon bisa dilacak juga dari sebuah makam tua yang ada di desa tersebut. Kuburan tua yang terletak di tengah sawah warga itu disebut oleh masyarakat sebagai makam dari Mbah Sari/Sarito. Mbah Sari diyakini dulunya merupakan pasukan Dipanagara.

Batu Nisan Mbah Sari di sebuah persawahan warga. Sumber: Foto Mahasiswa KKN MDB 2022

Pascaperang Jawa, tidak sedikit pasukan Dipanagara yang melarikan diri ke arah timur dan kemudian mem-babad dan mendirikan desa-desa kecil. Jika memang demikian, bisa jadi keberadaan Mbah Sari di Jajar diperkirakan sekitar pertengahan tahun 1800-an. Argumentasi ini bisa dikuatkan dengan pernyataan Denys Lombard (2005) yang menyebut bahwa paling sedikit, ada dua perempuan yang menjadi pemimpin dalam laskar Dipanagara. Itu jika memang nama Mbah Sari/Sarito itu benar-benar merujuk pada sosok perempuan. Karena tidak ada yang bisa menyebut dengan pasti sosok tersebut.

Desa Berhulu Budaya

Di Jajar, ada salah satu tradisi yang masih eksis sampai saat ini. Tradisi tersebut bernama tiban. Secara terminologi, tiban bisa diartikan sebagai “jatuh” atau “timbulnya” sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Sehingga tradisi tiban bisa diartikan sebagai ritual memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan. Ritual ini rutin diadakan setiap setahun sekali, dan tentu saja masih eksis hingga saat ini.

Sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan lokal, tiban di Desa Jajar cukup unik. Setidaknya tiban di desa ini dibedakan menjadi dua: ritual dan festival. Sebagai ritual, tiban tentu tak bisa digelar sembarangan. Ada waktu-waktu tertentu, pakem atau aturan yang harus dipegang oleh pelaku tiban. Sedangkan sebagai festival tentu pagelaran tersebut lebih fleksibel karena tujuan utamanya sebatas hiburan.

Festival Tiban di Jajar yang diinisiasi oleh mahasiswa KKN MDB 2022.

Namun yang jauh lebih penting, dua-duanya masih lestari di Desa Jajar sampai saat ini. Itu belum termasuk tradisi dan kebudayaan lain, misal “Megengan Show”, salawat klasik dan ikonik, Salalahuk, Jamasan di Jeding Wanatirta, dan sebagainya. Seabrek kearifan lokal (local wisdom) ini bisa ditemukan di Desa Jajar.  Sehingga jika meminjam istilah Denys Lombard (2005), maka apa yang ada di Jajar merupakan manisfestasi dari “kebudayaan pedesaan”.

Saya jadi ingat bahwa desa dalam—Kakawin Nāgarakṛtâgama atau Kakawin Deśawarṇana itu—diposisikan cukup istimewa. Secara eksplisit, desa disebut sebagai jantung peradaban. Jika desa “rusak” maka “negara” akan ikut hancur karena kehilangan penopangnya. Sehingga betapapun besar dan modernnya sebuah negara jika ia tak lagi melihat desa sebagai “orang tuanya” maka ia seperti peradaban yang tercerabut dari akarnya.

Dengan demikian, Jajar seyogianya layak disebut sebagai desa berhulu budaya. Sebuah desa kecil yang menyimpan berjibun sejarah dan nilai-nilai warisan (heritage) budaya Jawa. Apalagi desa ini juga sudah masuk dalam program dampingan pengembangan wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Trenggalek.

Semoga, pihak pemerintah desa dan kabupaten benar-benar bersinergi. Bukan sekadar “klaim sepihak” dan “pembangunanisme semata,” melainkan juga benar-benar mendampingi serta melestarikan tradisi-budayanya. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.