Sudut Pandang

Penghentian Hums: Dakwah Kesetaraan Nabi Muhammad di Era Madinah

Penghentian Hums: Dakwah Kesetaraan Nabi Muhammad di Era Madinah

Kami, kaum muhajirin adalah golongan pertama yang masuk Islam. Adapun orang-orang lain hanya mengikuti kami. Kami adalah keluarga Rasulullah, selain itu, kami adalah golongan Arab yang paling bagus nasabnya. Pada setiap kabilah Arab, di sana ada anak dari darah Quraish” (Ibnu Qutaybah, 1990).

Paragraf di atas adalah kutipan pidato panjang Abu Bakar Al-Siddiq r.a. saat musyawarah di Saqifah Bani Saidah tahun 633 M. Diakui atau tidak, pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw., semangat kesukuan, terutama Quraish menguat kembali.

Indikasinya adalah berdirinya dua dinasti besar yang dipimpin oleh anak turun Quraish, baik Dinasti Umayyah maupun Abbasiyah.

Bahkan, ketika Umat Islam mampu memperluas kekuasaan, para gubernur yang dipilih untuk memimpin tanah-tanah baru tersebut adalah dari golongan Quraish.

Perasaan lebih baik dari suku yang lain sebenarnya sudah dimiliki oleh Kabilah Quraish sejak lama. Nabi Muhammad pada masa hidupnya terus menekan rasa tinggi hati yang hinggap pada kabilah-nya sendiri.

Nabi banyak memberikan kesempatan kepada para sahabat dari luar kabilah-nya untuk menjadi pemimpin dalam bidang-bidang tertentu.

Misalnya, Muadz b. Jabal seorang dari kalangan Ansar  yang diutus ke Yaman untuk menjadi mufti. Salman al-Farisi, pemuda asal Persia yang mencetus ide menggali parit dalam Perang Khandaq. Zaid b. Thabit pemuda dari Bani Najjar menjadi sekretaris Nabi dan lain sebagainya.

Pengertian Hums

Hums merupakan derivasi dari kata ha-ma-sa yang mempunyai arti semangat (Wehr, 1976). Sedangkan Jamaluddin menerjemahkan kata ini dengan istilah “Agama Semangat” (al-Khatib, 2021).

Saya saat di pesantren dulu, sering menggunakan kata “hammasah” untuk menggantikan kata semangat. Namun di tangan Quraish, hums beralih menjadi sebuah tradisi lambang keluhuran kabilah mereka.

Ibnu Hisyam (w. 833) menceritakan panjang tentang tradisi ini.  Tradisi hums dimulai sekitar tahun gajah (560 M).

Asumsi awal yang menyebabkan tradisi ini lahir adalah anggapan dari Kabilah Quraish bahwa mereka adalah klan keturunan Ibrahim Sang Nabi.

Artinya, ada darah Nabi yang mengalir dalam diri mereka. Mereka juga menguasai Kakbah, dan juga selalu menjamu tamu-tamu yang datang untuk berziarah.

Atas dasar keluhuran klan itulah mereka merasa bahwa orang-orang yang berada di luar Arab (tanah halal) harus menuruti peraturan yang digagas oleh Quraish.

Ketentuan-ketentuan ini banyak berlaku utamanya pada saat musim haji. Pada momen tersebut memang banyak penduduk tanah halal (luar Makkah) berduyun-duyun datang untuk melaksanakan ibadah haji.

Bentuk-Bentuk Hums

Quraish menetapkan bahwa mereka tidak menunaikan wukuf di Arafah. Mereka menganggap bahwa Arafah berada di tanah halal sehingga mereka enggan untuk menggunakan tempat tersebut sebagai tanah ibadah.

Meskipun mereka sudah mengetahui bahwa wukuf di Arafah merupakan salah satu ritual pelaksanaan haji, akan tetapi hanya orang non-Arab sajalah yang wukuf dan berangkat dari sana.

Kabilah Quraish hanya berkenan melaksanakan wukuf di Muzdalifah tapi tidak untuk Arafah (Zahabi, 1987; Hisyam, 1411).

Kutipan pernyataan itu kira-kira begini:

“Kami penduduk tanah haram, maka kami akan terus berada di sini. Kami tidak rela mengagungkan tanah halal seperti mengagungkan tanah haram. Nahn al-hums wa al-hums ahl al-haram [kami adalah hums, dan hums adalah penduduk tanah haram]”(Hisyam, 1411).

Tradisi Hums dalam Pakaian dan Makanan

Tradisi pengharaman ini pun berlanjut kepada pakaian dan makanan. Quraish melarang diri mereka sendiri untuk membuat mentega, memasak dengan minyak selama masa ihram.

Mereka tidak boleh memasuki rumah (tenda) yang terbuat dari dedaunan, mereka hanya diperbolehkan berteduh di dalam rumah dari kulit pada masa ihram.

Penduduk tanah halal (sekali lagi, Non Arab) tidak boleh memakan makanan yang dibawa dari tanah asal mereka saat haji.

Dalam hal pakaian, tradisi hums melarang penduduk tanah halal memakai pakaian selain dari tanah haram.

Jika mereka tidak menemukan pakaian dari penduduk tanah haram mereka harus melaksanakan tawaf dalam keadaan telanjang.

Namun, bagi orang yang murah hati (dermawan) tetap boleh menggunakan pakaian dari asalnya saat tawaf dengan catatan harus membuang pakaian tersebut usai melaksanakannya.

Ibnu Hisyam memberi keterangan bahwa pakaian yang dikenakan saat ihram disebut al-Laqa (Al-Suhaili, 2008).

Sejak saat itulah para penduduk dari luar tanah haram patuh kepada peraturan tersebut. Para pelaksana ibadah haji melaksanakan tawaf dalam keadaan telanjang.

Sementara itu, para perempuan salah seorang dari mereka melorotkan seluruh pakaiannya kecuali yang berlubang di depan dan belakang, kemudian ia thawaf dengan pakaian tersebut.

Tradisi ini berangsur-angsur menjadi monopoli Quraish sekaligus kekuasaan yang tiranik saat itu.

Kedatangan Nabi Muhammad yang menentang semua itu jelas menjadi pengganggu tradisi yang sudah menjadi zona nyaman Kabilah Quraish.

Sehingga pengusiran Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari tanah kelahiran mereka adalah puncak perundungan yang mereka dapatkan.

Penghapusan Tradisi Hums

Pada masa sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, Ibn Ishaq meriwayatkan dari Jubair b. Mut’im, bahwa ia berkumpul bersama sekelompok orang yang melakukan wukuf di Arafah dan memulai haji dari sana.

Jubair, yang tidak sengaja melihat peristiwa itu berkata dalam hati, “Mengapa mereka (Quraish) berada di sini?” (al-’Asqalani, 2017).

Hal ini menjadi tanda bahwa Muhammad muda sudah mempunyai niat melawan hums dan mengembalikan ajaran agama Nabi Ibrahim.

Baru selepas Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M), dan memulai syariat haji dan umrah, Allah menurunkan ayat yang dengan tegas menghapus tradisi hums Quraish ini.

Dalam ritual ibadah haji, Allah menurunkan surat Al-Baqarah: 199: ““Kemudian berangkatlah kamu dari tempat berangkatnya manusia (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah” (Al-Tabari, 2000).

Sementara itu, dalam hal makanan dan pakaian, Allah menurunkan surat al-A’raf: 31-2: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih lebihan.

Dengan begitu, tradisi hums Quraish telah usai, semua suku, kabilah, maupun bani adalah setara di depan Allah Swt. Tidak ada lagi kabilah yang memonopoli pelaksanaan haji serta berbuat tirani dan zalim (Al-Suyuti, 2000).

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, nasab Nabi Muhammad yang Quraish semakin menjadi kebanggaan, apakah ini merupakan tanda kalau hums Quraish muncul kembali? Wallahu A’lam Bishawab. []

Share this post

About the author

Kolomnis dan Dosen di UIN Satu Tulungagung