Sudut Pandang

Tulungagung Tempo Doeloe dalam Kenangan Seorang Belanda

Tulungagung Tempo Doeloe dalam Kenangan Seorang Belanda

Membaca dan memahami sejarah Kabupaten Tulungagung yang berasal dari literatur Belanda merupakan langkah alternatif selain dari prasasti, manuskrip, atau cerita rakyat (folklor). Meski tak dipungkiri, hal demikian juga berpotensi bias kolonialisme. Namun, jika dilihat, masih banyak kepingan sejarah Tulungagung yang belum terungkap ke permukaan dan masih menjadi misteri sampai sekarang ini.  

Oleh sebab itu, tulisan singkat ini akan meneropong Tulungagung pada masa lampau dengan merujuk pada catatan kenangan seorang tokoh dari Belanda yang mungkin bagi orang di luar pengkaji sejarah namanya tak begitu akrab di telinga.

Adalah Jacob Cornelis van Leur—seorang orientalis dan sejarawan lulusan Universitas Leiden yang pernah tinggal di Tulungagung dalam kurun waktu 1934-1935. Selama di Tulungagung, ia setidaknya pernah menulis empat surat korespondensi yang ditujukan kepada Profesor Pieter Jan Bouman, Direktur Universitas Groningen (Rijksuniversiteit Groningen) Belanda pada masa itu.

Atas seizin Profesor Pieter Jan Bouman, surat korespondensi tersebut kini menjadi koleksi Digitale Bibliotheek voor de Nederlansche Letteren atau Perpustakaan Digital untuk Sastra Belanda dan diterbitkan dengan judul, Java, vreemd en vertrouwd Fragmenten uit brieven van J.C van Leur. Sebab isi dari surat tersebut penuh dengan makna dan data melampaui kepentingan pribadi sebagai pegawai pemerintah Kerajaan Belanda.

Surat korespondensi itu menjadi semacam puzzle sejarah menarik. Sebab kota kecil seperti Tulungagung pernah menjadi tujuan awal karier seorang Belanda yang kelak dikenang sebagai sejarawan besar pencetus teori “Brahmana” dalam penyebaran agama Hindu di Nusantara. Sebagaimana yang ia ulas dalam karyanya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History (1984).

Awal Perjumpaan dengan Tulungagung

Jacob Cornelis van Leur meninggalkan pelabuhan Rotterdam menuju Kepulauan Hindia pada suatu hari di tahun 1934 setelah menyelesaikan disertasi doktoral di Universitas Leiden dan mendapatkan penugasan sebagai pegawai pemerintah untuk wilayah jajahan Hindia-Belanda.

Dalam perjalanannya ke Hindia, Jacob Cornelis van Leur menyebutnya sebagai “sebuah rangkaian yang panjang” karena perjalanan kapal memerlukan waktu berberapa bulan menuju ke Batavia. Perjalanan dari ke Tulungagung diawali dari Batavia dengan menggunakan kereta api menuju Surabaya dan dari Surabaya kemudian tiba di Kediri pada tanggal 30 November 1934.

Perjalanan dari Kediri menuju Tulungagung ditempuh Jacob Cornelis van Leur menggunakan mobil dan selanjutnya ia mengawali karier sebagai Controleur Afdeeling Toeloengagoeng (Pengawas Kabupaten Tulungagung). Ini merupakan jabatan di bawah asistensi residen yang hanya bisa diisi oleh pejabat kulit putih Eropa.

Gambaran Geografis dan Birokratis Tulungagung pada Masa Lampau

Jacob Cornelis van Leur dalam catatannya menyebut Tulungagung memiliki wilayah topografi yang “khas” sebab “dikepung” oleh pegunungan. Di sebelah barat, terdapat Gunung Wilis setinggi 2.500 meter, sedangkan di sebelah timurnya ada Gunung Kelud, dan di sisi selatan terdapat gugusan pegunungan yang tidak beraturan disertai dataran rendah dengan rawa-rawa.

Tulungagung oleh Jacob Cornelis van Leur pada kurun waktu itu sudah memiliki infrastruktur transportasi darat kereta api yang menghubungkan antara Kediri dengan Malang. Jarak Tulungagung menuju kabupaten sekitar dalam area Karesidenan Kediri disebutkan dalam rentang 30-40 kilometer. Pada tahun 1935, Kabupaten Tulungagung memiliki penduduk sekitar 500.000 jiwa.

Ada kutipan menarik dari Jacob Cornelis van Leur dalam memorinya mengenai birokrasi yaitu “gunung-gunung birokrasi lebih tinggi daripada gunung-gunung di Jawa yang membebani birokrasi negeri yang sulit dilewati.”

Kutipan tersebut menegaskan hierarki sistem birokrasi di Jawa sangat timpang secara kelas sosial. Sistem pemerintahan Jawa (javaanesche bestuur) dianggap sebagai tingkat rendah dan pemerintahan Eropa (europees bestuur) di atasnya, tak terkecuali Tulungagung. Hierarki oposisi yang mencerminkan kelas “penjajah” dan “terjajah” itu, persis dengan gambaran Pramodeya Ananta Toer dalam novel tekenalnya, Bumi Manusia.

Kemudian sistem pemerintahan di Tulungagung berubah setelah meletusnya perang Jawa (de Java Ooorlog) (1825-1830) yang membawa konsekuensi penyerahan wilayah mancanegara wetan kepada pemerintah kolonial dengan pembentukan dua karesidenan tahun 1830.

Jacob Cornelis van Leur mencatat sistem pemerintahan Jawa di Tulungagung dalam urutan bupati-patih-wedono-asisten wedono-mantri dan yang terakhir adalah dewan desa sebagai struktur pemerintahan terbawah. Bupati Tulungagung pada saat itu bertanggung jawab secara langsung kepada Residen Kediri.

Sementara itu, terdapat pemerintahan Belanda yaitu asisten residen sebagai jabatan pegawai negeri tertinggi yang menjalankan tugas pemerintahan di wilayah afdeeling (kabupaten) yang membawahi berberapa jabatan seperti pengawas dan pegawai negeri.

Sama halnya dengan bupati, asisten residen Tulungagung bertanggung jawab secara langsung kepada Residen Kediri. Jabatan asisten residen hanya bisa diisi oleh orang Belanda dan diangkat oleh residen setempat untuk berberapa tahun masa jabatan. Dengan kata lain, asisten residen merupakan utusan residen kepada bupati dengan penggambaran semacam “atase diplomatik.”

Selama berdinas di Tulungagung, orientalis yang mengulik Indonesia dengan kacamata Weber ini, menyoroti pentingnya penguasaan bahasa Jawa bagi siapa pun pejabat Belanda yang berdinas di Tulungagung.

Tanpa penguasaan bahasa Jawa yang memadai, menurut Jacob Cornelis van Leur, maka tidak akan bisa memahami persoalan dan menjalankan pemerintahan dengan cara yang bodoh. Bulan-bulan awal Jacob Cornelis van Leur berdinas di Tulungagung belum menguasai bahasa Jawa dengan baik dan kesulitan menjalankan tugas sebagai pengawas pemerintahan.

Menuju Tulungagung Selatan: Rawa, Banjir, dan Penghormatan kepada Pejabat Belanda

Selama berdinas di Tulungagung, Jacob Cornelis van Leur pernah melakukan perjalanan dinas ke wilayah Tulungagung Selatan: Teluk Popoh dan Prigi. Perjalanan menuju wilayah selatan itu, ia tempuh menggunakan kuda dengan dikawal berberapa pejabat Jawa dan 80 prajurit kabupaten.

Jacob Cornelis van Leur menempuh perjalanan sekitar 50 Kilometer melewati jalan tanah berkondisi buruk di kaki sebuah gunung dengan pemandangan rawa-rawa. Di sepanjang perjalanannya itu, ia merasa tersanjung karena semua penduduk menundukkan kepalanya. Dan seketika lalu lintas berhenti karena masyarakat setempat (terpaksa) hormat kepada pejabat Belanda yang telah lama menjajah bangsanya.

Sepanjang perjalanan ke wilayah Tulungagung selatan, Jacob Cornelis van Leur mengamati keadaan penduduk dalam kondisi kesedihan dan kesengsaraan karena dilanda banjir akibat rawa yang meluap sepanjang bulan Januari-April 1935.

Meluapnya rawa di kawasan selatan Tulungagung menyebabkan Kali Ngrowo yang bermuara di sungai Brantas turut meluap dan menyebabkan berbagai dampak yaitu gagal panen dan ledakan malaria serta disentri. Siklus ini berulang setiap tahun dan menyebabkan kondisi penduduk Tulungagung selatan cukup menderita.

Negara Sejarah Kuno, Cerita Nyai Roro Kidul, dan Kedudukan Priayi Jawa

Dalam bait-bait terakhir suratnya, Jacob Cornelis van Leur mengenang Tulungagung sebagai negara sejarah kuno yang mengacu pada riwayat Tulungagung yang masuk wilayah Kerajaan Kediri dan Majapahit.

Sebagai bekas wilayah kerajaan, wilayah Tulungagung sebelah barat yaitu di lereng Gunung Wilis memiliki sisa reruntuhan candi dan pertapaan. Selain itu, di wilayah selatan Kabupaten Tulungagung terdapat perbukitan megah dengan sisa-sisa di puncaknya.

Ada narasi surat yang tak kalah menarik, Jacob Cornelis van Leur juga menulis cerita mitologi tentang Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan. Sewaktu ia singgah di Tulungagung, cerita tentang “penguasa pantai selatan” itu sudah berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa maupun orang Eropa yang bermukim di Tulungagung.

“Hierarki sistem birokrasi di Jawa sangat timpang secara kelas sosial. Sistem pemerintahan Jawa (javaanesche bestuur) dianggap sebagai lebih rendah dan pemerintahan Eropa (europees bestuur) ada di atasnya. Hierarki oposisi yang mencerminkan kelas “penjajah” dan “terjajah” itu, persis dengan gambaran Pramodeya Ananta Toer dalam novel tekenalnya, Bumi Manusia.”

Cerita tentang Nyai Roro Kidul oleh Jacob Cornelis van Leur digambarkan sebagai dewi laut selatan yang bermukim di gua-gua keramat di tepian Samudera Hindia. Bahkan ia menyebut bahwa banyak rumah pejabat Jawa dan rumah pemangku adat pada saat itu yang menghadap ke arah laut Selatan. Itu seperti menggambarkan ada semacam sambungan spiritualitas dengan Pantai Selatan.

Terakhir, Jacob Cornelis van Leur menulis tentang kedudukan penting priayi dalam kasta sosial masyarakat Jawa. Priayi Jawa khususnya di Tulungagung menurutnya memiliki kedudukan yang tinggi di bawah orang Eropa dengan memegang berberapa posisi seperti pejabat pemerintahan dan kepolisian.

Jacob Cornelis van Leur bahkan menegaskan bahwa priayi digambarkan sebagai orang Jawa “yang agung” dengan wibawa dan kekuasaannya mampu menjadi pemimpin masyarakat. Kendati dalam dalam perspektif lain, posisi priayi dalam konteks kolonial sesungguhnya juga merepresentasikan sebagai “antek kolonial.” []

Disclaimer: Esai ini terutama bersumber dari artikel berbahasa Belanda koleksi Digitale Bibliotheek voor de Nederlansche Letteren dengan judul Java, vreemd en vertrouwd Fragmenten uit brieven van J.C van Leur. Tulisan itu pertamakali dipublikasikan pada bulan Agustus 1956 dengan sedikit penambahan data dari penulis pada aspek sejarah perubahan sistem birokrasi di Tulungagung pasca perang Jawa 1825-1830.

Share this post

About the author

Penulis adalah alumni Sosiologi Universitas Negeri Surabaya & Pemerhati Sejarah