Wartakita

Menyingkap Sejarah dan Makna Nama Tulungagung

Menyingkap Sejarah dan Makna Nama Tulungagung

Kamis 13 Oktober 2023, Jawa Pos Radar Tulungagung bekerjasama dengan Diskursus Institute dan Dispora Tulungagung menggelar sarasehan menarik bertajuk “Mendobrak Pintu Langit.” Acara yang masih pertama kali digelar ini mengambil tema Di Balik Nama Kabupaten Tulungagung.

Acara yang digelar santai tapi penuh khidmat itu dihadiri oleh tiga orang narasumber yang kapabel dalam bidangnya. Narasumber pertama adalah Muhammad Abdillah Subhin (Dosen STAI Muhammadiyah Tulungagung), kemudian Saiful Mustofa (Direktur Diskursus Institute), dan Achmad Mugiyono (Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Tulungagung).

Acara diskusi yang berlangsung gayeng ini juga dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa sampai dengan para pemerhati budaya di Tulungagung. Acara yang dimulai pada pukul 20.00 WIB itu dibuka oleh moderator dengan sambutan dan zikir singkat.

Kemudian moderator mempersilakan Achmad Mugiyono selaku kepala dinas untuk mengawali sekaligus membuka perdiskusian pada malam itu. Dalam sambutannya, Achmad Mugiyono menyampaikan apresiasi atas inisiatif digelarnya acara menarik semacam ini. “Acara menarik dan bermanfaat semacam ini harus terus ditradisikan,” kata kepala dinas yang masih muda tersebut.

Acara kemudian dilanjut dengan pemaparan makna nama Tulungagung oleh Saiful Mustofa. Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa secara sosio-historis Tulungagung bukanlah wilayah kemarin sore yang muncul begitu saja.

Menurut Direktur Diskursus Institute sekaligus dosen di UIN Satu Tulungagung itu, Tulungagung merupakan “tanah haram” (suci). Hal demikian salah satunya bisa dibuktikan bahwa Tulungagung dijadikan sebagai tempat semedi dan pen-darma-an Sang Ratu Sri Rajapatni Gayatri.

Perempuan hebat Majapahit yang bergelar prajñā paramita itu, dalam laku terakhir spiritualnya memilih Tulungagung pada zaman lampau untuk mencapai semacam makamat sebagai seorang bodhisattva—sebuah personifikasi dewi kebijaksanaan dalam aliran Budha Mahayana.

Selain itu, Saiful Mustofa juga menjelaskan bahwa secara historis, Tulungagung pada masa lampau sudah melewati zaman kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, sampai dengan Mataram Islam. Hal itu bisa dilacak pada Prasasti Mula-Malurung (1255) dan Kakawin Negarakretagama (1365). Dua peninggalan sejarah itu menyebut nama Kalangbret yang ketika era Kadipaten Ngrowo sempat menjadi pusat pemerintahan.

Dokumentasi acara pada saat sesi foto bersama pasca penutupan

Artinya, jauh sebelum nama Ngrowo atau Tulungagung muncul wilayah Tulungagung pada masa lalu lebih dikenal dengan sebutan Kalangbret. “Jadi makna Kalangbret yang dalam buku Sejarah dan Babad Tulungagung (1971) diasosiasikan sebagai akronim dari “adipati Kalang yang disembret-sembret” itu tidak benar. Sebab dalam prasasti dan Negarakretagama sudah disebut istilah Kalangbret,” tutur Saiful Mustofa.

Lebih dari itu, Muhammad Abdillah Subhin menyambung dan menjelaskan bahwa nama Tulungagung berarti pertolongan dari rahmat Tuhan Semesta Alam. Artinya Tulungagung diharapkan menjadi wilayah yang penuh rahmat dan pertolongan sebab sebelumnya merupakan kawasan rawa-rawa yang tergenang banyak air. “Kalau bukan karena pertolongan Tuhan Yang Maha Agung, bagaimana mungkin wilayah yang didominasi rawa-rawa bisa dijadikan tempat tinggal dan kota,” kata Abdillah menjelaskan dengan gamblang.

Ia juga menjelaskan banyak hal tentang kiprah KH. Abu Mansur dalam konteks sejarah babad dan penyebaran agama Islam di Tulungagung. Sebagai trah keturunannya, Abdillah menjelaskan secara mendetail bagaimana Tawangsari pada masa lampau sebagai tanah perdikan (sima) terjadi.

Acara diskusi tersebut berlangsung secara interaktif. Banyak sekali peserta mulai dari kalangan mahasiswa dan umum yang tertarik untuk bertanya dalam banyak hal tentang seluk-beluk Tulungagung pada masa lampau.

Baca juga: Menelisik Jejak Islamisasi di Bumi Ngrowo

Dalam sesi penutup, Saiful Mustofa juga menambahkan bahwa sejarah atau babad suatu wilayah di Jawa biasanya diasosiasikan dengan hal ihwal seperti sumber air, pohon beringin dan lain sebagainya. Masyarakat menyebut hal demikian dengan danyang atau punden. Menurutnya hal demikian wajar sebab dalam kosmologi Jawa, keyakinan itu merupakan anasir agama asli (indigenous) Nusantara yaitu Kapitayan.

Hal itu ditandai dengan pemujaan terhadap entitas yang bernama Sanghyang Taya. Ia digambarkan mewujud dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut ‘tu’ atau ‘to’ yang bermakana daya gaib bersifat adikodrati.

Karena sifatnya yang gaib, maka dibutuhkan sarana untuk pemujaannya lewat beberapa hal yang berawalan atau berakhiran ‘tu’ atau ‘to’ tadi. Misalnya seperti tu-ngkub (punden), tu-nda (punden berundak), to (roh penjaga) tu-ban (air terjun), tu-k (mata air), tu-rumbukan (pohon beringin), wa-tu (batu), tu-gu, tu-mbak (jenis lembing), to-san (pusaka), dll.

Diskusi pada malam itu diakhiri dengan sesi foto bersama, dan Jawa Pos Radar Tulungagung memberi bingkisan kepada audiens yang diberikan langsung oleh masing-masing narasumber. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Googling Iman" dan Peneliti di Diskursus Institute