Wartakita

Memaknai Kembali Daulat Kebudayaan dalam Konteks Islam Jawa

Memaknai Kembali Daulat Kebudayaan dalam Konteks Islam Jawa

Falsafah Jawa merupakan salah satu bentuk esensi kearifan lokal (local wisdom) yang masih lestari sampai saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa suburnya kebudayaan yang terkandung dalam kearifan lokal masyarakat Jawa erat kaitannya dengan agama, terutamanya dalam konteks relasinya dengan ajaran Islam.

Akan tetapi, imbas dari sejarah kelam hegemoni orientalisme dan kolonialisasi ilmu pengetahuan hingga akhir abad dua puluh mengakibatkan biasnya nilai-nilai pemahaman falsafah lokal yang leluhur dan murni tersebut. Selain itu, akibat dari banyaknya masyarakat kita yang mengesampingkan aspek nilai-nilai ajaran leluhur pula mengakibatkan polarisasi masyarakat atas falsafah kebudayaannya tersebut semakin meliar.

Pada Jum’at, 18 Agustus 2023 yang lalu, Diskursus Institute berkolaborasi dengan Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung berkesempatan ngobrol gayeng dengan Irfan Afifi dengan tajuk bedah buku terbarunya, Daulat Kebudayaan: Jawa Islam dalam Sebuah Pertemuan di Pendapa Ikatan Sarjana NU (ISNU) Tulungagung.

Dalam buku ini, Mas Irfan—sapaan akrabnya—menjelaskan bahwa bagi individu yang mengikuti falsafah Jawa maka secara otomatis kehidupannya sudah “terislamisasi” secara keseluruhan dari dimensi lahir hingga batin.

Selain itu, dalam pemaparannya ia juga menjelaskan bahwa kebudayaan leluhur—dalam konteks ini masyarakat Jawa—memiliki peran penting dalam membangun sebuah jati diri peradaban bangsa yang dewasa.

Oleh karena itu, penting kiranya kita sebagai generasi penerus untuk mengkaji falsafah kebudayaan leluhur ini agar tidak terjadi bias akan pengetahuan nilai-nilai luhur serta tercabutnya bangsa dari akar peradabannya.

Kebudayaan sebagai Proses Keagamaan

Mas Irfan juga mengatakan bahwa pentingnya memahami kebudayaan sebagai kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Sehingga, hal ini berdampak tak hanya pada perenungan yang masif, folklor kebudayaan atau berbagai visi kebudayaan tertentu, tetapi juga langkah kehidupan yang terhubung dengan nilai-nilai luhur esensi kemanusiaan, sakral dan transenden yang menuntut untuk terus-menerus ditingkatkan.

“Juru Kunci” Langgar tersebut banyak merujuk pada Serat Wedhatama, untuk menjelaskan tentang laku kebudayaan sebagai olah budi yang selaras dengan fakultas karsa/raga (kehendak), fakultas cipta (pikiran, daya imajinasi, dan daya cipta), fakultas jiwa (tempat niat, tekad, dan dorongan terdalam), dan fakultas rasa (bingkai kearifan, dorongan empati moral yang terdalam).  

Namun ujung pangkal semua itu termanifestasikan dalam tata nilai, tata masyarakat, tata adat, tata budaya, serta tata negara. Kecenderungan semacam ini memperlihatkan suatu watak asli dari masyarakat Jawa itu sendiri ketika terjamah ajaran Islam (khususnya pesantren).

Meminjam istilah Benedict Anderson dalam, The Idea of Power in Javanese Culture (1972), hal demikian dianggap sebagai “seni laku yang unik”. Manusia Jawa bertidak secara teoretis, dan berteori secara aktual dalam hajat kepentingan yang tak hanya horizontal, melainkan berpusat kuat pada yang vertikal  atau “jumbuhing kawula gusti” .

Kalau diamati terminologi empat fakultas yang disebutkan di atas mirip dengan tahapan-tahapan di Islam: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dimensi keagamaan juga merupakan sebuah proses kebudayaan itu sendiri. Karena sebenarnya nilai-nilai keagamaan yang dipeluk dan diyakini bersifat universal. Maka dari itu, ia akan tetap terekspresikan dalam wujud nilai-nilai lokalitas dalam menjadikan manusia yang selaras dengan lingkungan sekitarnya.

Kekeruhan Pengetahuan dan Bias Kebudayaan

Dalam pengakuannya, Mas Irfan mengatakan laku penyelidikan ulang atas tradisi Jawa tersebut ia lakukan atas rasa prihatinnya terhadap keruhnya ilmu pengetahuan falsafah Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, ia yakin bahwa apa yang dilakukannya hingga saat ini merupakan panggilan batin dalam jagad cilik (keagamaan diri) dalam bentuk derma (misi kehidupan) yang ia emban untuk dunia ini.

Cara padang yang ia yakini saat ini mirip dengan perspektif oksidentalisme dalam mendobrak dominasi Barat atas Timur yang cenderung bias. Menurutnya, apa yang terjadi saat ini seperti fenomena yang muncul di akhir abad 19 Masehi: pengeruhan sudut pandang Islam Jawa. Sebuah proyek besar yang dilakukan oleh kolonial sejak berakhirnya Perang Jawa atau Perang Dipanagara (1830 M), untuk membangun sebuah lembaga riset tentang Jawa, atau javanologi yang lagi-lagi demi kepentingan kolonial semata.

Hal ini terlihat seperti kerancuan karya Clifford Geertz yang membagi masyarakat Islam Jawa dalam tiga golongan: santri, abangan, dan priayi. Dalam ledekannya, Mas Irfan menyebut penggolongan tersebut terkesan ngawur.

Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Ricklefs (2013) yang mengamati bahwa pada saat terbelahnya legalitas formal kerajaan Jawa pada Perjanjian Giyanti (1755 M), masayarakat Jawa masih memiki ikatan kultural Islam Jawa yang menjadi pemersatu. Selain itu, bagi orientalisme-kolonialisme, selama Islam masih menjadi identitas yang terhayati sebagai penyatu identitas kejawaan, kekuasaan kolonial tidak akan tenang dan langgeng.

Oleh karena itu, melalui preseden ini usaha-usaha polarisasi ke dalam tubuh masyarakat Nusantara mulai digalakkan oleh penjajah, utamanya antara kejawaan dengan keislaman dengan salah satu caranya yang paling berdampak kuat adalah hegemoni ilmu pengetahuan.

Menurut Mas Irfan, hal demikian dimaksudkan agar masyarakat Jawa bisa terpaut kembali dengan masa lalu jauhnya yakni pada masa Hindu-Budha. Kemudian, masa tersebut digambarkan oleh penjajah sebagai kejawaan yang masih anteng dan terbebas dari semangat revolusioner Islam tradisional.

Dampak ini akhirnya memunculkan kebimbangan internal dalam diri seorang manusia “hybrid”: Muslim sekaligus Jawa. Seperti halnya Kartini maupun Ranggawarsita.

Tsuciya (2023) melihat hegemoni ini sedemikian rinci dalam risetnya. Efek terjauh dari peran kolonial untuk mengaburkan Jawa dan Islam akhirnya menjadi senjata terbaik untuk memecah belah masyarakat Jawa, terutama bagi personal manusianya, lantas demi konteks sosialnya.

Lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan Muhtarom (2019), akibat hadirnya jaringan Islam transnasional yang seringkali mengabaikan nilai-nilai agama lokal Islam Jawa, pada akhirnya menambah biasnya masyarakat dalam memaknai kejawaannya.

Melalui ide-ide reformasi Islam, pada akhirnya, umat Islam Jawa seperti Ranggawarsita, dengan intelektual sufisme tradisional, tersisih dan terpinggirkan dalam sejarah. Pada puncaknya, seluruh gerakan nasionalis pada awal abad ke-20 terpecah belah berdasarkan kepercayaan agama yang sangat rentan terhadap aktivisme politik ideologis dan sentimen antaretnis.

Akhirnya, hal demikian masih berdampak hingga saat ini. Ibarat efek domino yang jatuh hanya karena dorongan salah satu bagian intelektualismenya. Hal ini terlihat sejak Indonesia menyambut kemerdekaan pada tahun 1945 dan menyelenggarakan pemilu pertamanya pada tahun 1955.

Polarisasi dan perpecahan sosial yang diwarisi dari kolonialisme telah menyebabkan perpecahan yang semakin meningkat. Kutub ideologi telah terakumulasi dan memadat di dalam partai politik.

Oleh karena itu, dalam buku Daulat Kebudayaan: Jawa Islam dalam Sebuah Pertemuan ini, Irfan Afifi coba menyuguhkan suatu renungan dan konsep kedaulatan Indonesia yang merefleksikan nilai-nilai kebudayaan. Ia juga berargumen bahwa budaya yang sarat dengan nilai merupakan representasi dari adat istiadat yang luhur. Keluhuran tersebut merupakan bukti bahwa nenek moyang masyarakat Indonesia, khususnya Jawa mempunyai jaringan yang kuat untuk persatuan. []

Share this post

About the author

Mahasiswa Sosiologi Agama UIN SATU & Santri Pusat Kajian Filsafat & Teologi (PKFT) Tulungagung