Sudut Pandang

The Dream: Antara Mistisisme dan Gejolak Jiwa

The Dream: Antara Mistisisme dan Gejolak Jiwa

Ada pertanyaan filosofis untuk mengantarkan pembaca dalam mengarungi luasnya dunia mimpi. Chuang Lzu dalam salah satu diskursusnya pernah mengatakan bahwa “aku mengalami kebingungan, apakah aku seorang yang sedang bermimpi sebagai kupu-kupu, atau aku adalah kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi manusia”.

Menarik bukan, sayangnya mimpi yang sering manusia alami serasa hanya lewat begitu saja. Alih-alih mencoba untuk direnungkan, nyatanya hanya dianggap sebagi bunga tidur belaka.

Mimpi sudah lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam sejarahnyapun banyak narasi yang mengkultuskan mimpi sebagai sarana komunikasi dengan suatu yang mistik. Seperti kisah Nabi Yusuf misalnya.

Ia menginterpretasikan mimpi Firaun tentang tuju buah sapi gemuk yang dimakan tuju sapi kurus serta tuju buah gandum yang berisi dan masak ditelan tuju gandum yang kurus dan kering.

Dalam khazanah Jawa pun mimpi telah menjadi sebuah budaya yang memiliki nilai keintiman sendiri. Anggap saja ketika seseorang yang saat tidur malamnya menemukan dirinya bermimpi dikejar-kejar ular dan terbangun dengan ter-engah-engah. Mayoritas masyarakat Jawa akan segera mengatakan bahwa orang yang demikian akan mendapatkan keberuntungan, yakni jodoh.

Dalam kasus yang lebih modern dan science psikologi hadir dengan memberikan cara pandang yang hampir sama, yakni melihat mimpi sebagai sebuah sarana komunikasi; antara kesadaran dan dunia ketidak-sadaran (unconsciousness). Dalam hal ini, mimpi merupakan sebuah dimensi yang menghadirkan ruang yang minim akan penolakan-penolakan yang hidup dalam dunia sadar.

Seperti yang telah banyak diketahui, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan disibukan dengan berbagai dimensi kedirian yang berkutat pada pembuatan persona diri individu dan sosial. Konsep-konsep yang hadir dalam sosial telah mengarahkan individu untuk menekan potensi-potensi primitifnya menuju ketidak-sadaran. Potensi-potensi yang ditekan ini kemudian akan menjadi konten-konteks ketak-sadaran. Dalam bahasa G. Jung lebih mainstream dikenal dengan istilah complekas (Freud, 2019).

Secara sederhana, kosmologi yang dibangun dalam psikologi (khususnya psikoanalisa), seperti yang telah disinggung di atas merupakan muatan-muatan yang tertolak dalam dunia sadar dan masuk dalam ketak-sadaran. Lantas mimpi hadir sebagai sarana muatan ini untuk merembes ke dalam kesadaran.

Karena saat manusia tertidur, perasan-perasan sensor yang menjadi aparatus kesadaran melemah sehingga muatan yang ditekan akan mulai masuk dalam kesadaran meskipun tidak hadir secara terus terang.

Ambil saja kasus yang telah disinggung sebelumnya, masyarakat Jawa meyakini bahwa mimpi digigit ular atau dikerjar-kejar ular merupakan simbol tentang datangnya keberuntungan, atau pertanda akan segera mendapatkan jodoh.

Psikoanalisa juga berpendapat demikian, akan tetapi dalam perspektif yang berbeda. Dalam penggalian maknanya, psikoanalisa melihat ular atau benda-benda yang panjang serta lurus tersebut menyimbolkan linga atau penis (phallus) (Schultz, 2015).

Sehingga inti mimpinya mengandung indikasi bahwa munculnya dorongan-dorongan seksualitas yang berusaha ditekan dalam dunia sadar dan hadir dalam mimpi dengan konten yang berbeda (simbolisiasi). G. Jung dalam Stein (2020), mengatakan bahwa bahasa dalam ketidak-sadaran merupakan bahasa simbolis.

Tak eneh bila konten-konten yang hadir dalam mimpi acapkali bernuansa simbolis. Maka sangat penting untuk melakukan asosiasi diri dan pembuatan jurnal mimpi sebagai sarana interpretasi. Bukan hanya sebatas melihat makna-makna yang tertulis dalam buku tafsir mimpi seperti orang-orang tradisional.

Terlepas dari upaya yang dilakukan oleh pembaru dalam psikologi tentang mimpi. Mimpi masih menjadi sebuah tanda tanya besar, karena merupakan suatu yang tak terjangkau atau tergapai. Dalam kosmologi psikologi Islam misalnya, mimpi memiliki peranan yang cukup sentral dalam menjelaskan relasi manusia dengan Sang Haq (Allah).

Mimpi tidak lagi diartikan hanya sebatas permasalahan psikologis semata, melainkan lebih luas dari itu, yakni sebagai sarana komunikasi nubuat-ilahiyat tempat turunnya ilham, insight sampai pada suatu yang lebih radikal, yakni wahyu. Sehingga tidak mengherankan jika mengamati pengalaman jiwa Nabi Muhammad, karena mimpi juga dianggap sebagai satu di antara empat puluh enam bukti dari kenabian.

Menurut Nashori (2011), mimpi dalam perspektif Islam memiliki nuansa yang cukup lekat dengan religiusitas, sebab mimpi dianggap mencerminkan karakteristik keimanan seseorang. Hanya orang-orang yang terpilih atau suci yang dapat mendapatkan atau mengalami penyatuan dengan cahaya Rabb-nya.

Dalam teori emanasi misalnya—saat manusia tertidur—ia akan mengalami pelepasan ruhnya sehingga muncul istilah bahwa tidur merupakan kondisi yang sama dengan kematian, yakni saat kita tertidur ruh manusia dalam genggaman Tuhan. Pada saat inilah individu memancarkan cahayanya dan mengalami penyatuan dengan cahaya Rabb-nya seperti cahaya matahari yang menyinari bumi dan ditangkap oleh cahaya individu yang dipancarkan.

Dalam hal ini hanya individu-individu yang terpilih saja yang dapat mengalami penyatuan dengan Rabb-nya, sedang yang kurang religius digambarkan dengan cahaya yang redup dan tidak dapat menggapai sinarnya.

Pertama, diyakini seseorang yang mengalami penyatuan dengan cahaya Rabb-nya akan mengalami mimpi yang baik dan dalam beberapa kasus mengandung peringatan dan tuntunan. Sedangkan yang kedua, diliputi dengan kegelisahan karena mendapat gangguan dari setan yang biasanya terbagun dengan keadaan yang gelisah.

Sehingga dengan demikian mimpi dalam perspektif ini menyajikan sebuah sudut padang yang lebih luas daripada sebelumya, karena mencangkupi beberapa dimesi, yakni fisik-piskologis maupun mistik-religius.

Mimpi merupakan sebuah potensi kemanusiaan. Mimpi masih menyajikan banyak tanda tanya besar karena hadir dalam kondisi pra-sadar yang acapkali tak terjangkau. Upaya yang dilakukan manusia sejauh ini ialah upaya besar dalam mengarungi luasnya dunia yang tak-terjangkau dari dirinya. Upaya semacam ini bisa tersublim dalam mitologi, mistisisme, atau bahkan ruang science.

Terlepas sebagai suatu yang bermuatan mistis maupun psikologis-empiris, mimpi menjadi medium atau bahkan peta menuju perjalanan jauh dalam lautan ketak-sadaran pusat religiusitas seseorang. []

Share this post

About the author

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana dan peneliti di Diskursus Institute.