Wartakita

Sumberdadi: Asal-Usul dan Potret Singkat Sejarahnya

Sumberdadi: Asal-Usul dan Potret Singkat Sejarahnya

Menggali Cerita Tutur

Sumberdadi, ya begitulah orang menyebut desa yang terletak di jantung Kecamatan Sumbergempol itu. Jika diamati sekilas, desa ini tampak biasa saja, sebagaimana desa-desa pada umumnya. Namun yang tidak banyak orang tahu, desa ini memiliki sejarah yang menarik untuk ditelusuri dan ditampilkan ke publik. Desa ini secara geografis terbagi menjadi dua dusun, Gempol dan Selojeneng.

Gempol sendiri merupakan dusun atau pedukuhan yang dipisah oleh rel kereta api memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya. Selain rel kereta, di Dusun Gempol ini juga terdapat stasiun. Orang menyebutnya dengan Stasiun Sumbergempol.

Uniknya, nama Kecamatan justru di-cuplik dari nama salah satu dusun di Desa Sumberdadi ini: Gempol. Kenapa yang dipilih untuk nama kecamatan justru nama dusun, dan kenapa Gempol, bukan Selojeneng atau bahkan Sumberdadi seperti beberapa kecamatan lain di Tulungagung?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, perlu dilakukan penelusuran yang cukup panjang dan tidak mudah. Sebab ini berkaitan dengan cerita tutur tanpa ada bukti tertulis yang bisa dirujuk sebagai landasan.

Secara istilah, Gempol merupakan nama dari salah satu pohon. Konon, menurut Mbah Maksum (88)—salah satu sesepuh desa—dahulu kala di wilayah yang sekarang dinamai Dusun Gempol itu ada sebuah pohon Gempol (Nauclea orientalis) besar yang di bawahnya terdapat sumber mata air. Sumber mata air ini tidak bisa surut meskipun sedang musim kemarau.

Menurut Mbah Maksum, sumber ini baru bisa berhenti ketika disumpal dengan sebuah lidi atau orang Jawa pada zaman dahulu menyebutnya dengan istilah sodo lanang. Sayangnya seumuran Mbah Maksum pun belum pernah tahu menahu soal sumber mata air dan pohon Gempol besar tersebut.

Selaras dengan penuturan Mbah Maksum, Mbah Sajid (78) salah satu sesepuh desa yang tinggal di Dusun Selojeneng juga menuturkan hal serupa. Menurutnya, penamaan Sumberdadi sebagai nama dari suatu desa asal muasalnya juga berasal dari sumber di bawah pohon Gempol tersebut. Dalam ingatannya, hampir semua orang sesepuh desa pada zaman dulu sepakat bahwa pangkal dari penamaan desa berasal dari sana.

Mbah Basyar (88) selaku salah satu sesepuh Dusun Gempol juga ikut bersaksi hal serupa. Ia mengatakan bahwa penamaan Dusun Gempol digali dari nama sebuah pohon Gempol, yang berada di dekat rumahnya. Ketika kami menemui di rumahnya, ia sayup-sayup mulai menceritakan sedikit-demi sedikit cerita turun-temurun yang masih ia ingatnya.

Dalam ingatan Mbah Basyar, wilayah Gempol—termasuk yang sekarang ia tempati—pada zaman dulu merupakan daerah rawa. Meski musim kemarau sekalipun, wilayah itu katanya tidak pernah surut airnya. Usut punya usut, ternyata di wilayah itu terdapat sumber mata air yang tempatnya tepat di bawah pohon Gempol. Sumber mata air itulah yang menyebabkan daerah tersebut tak pernah surut airnya.

Mbah Basyar kemudian melanjutkan cerita dengan menengok kembali ke asal-muasal terbentuknya daerah tersebut. Adalah Mbah Iro Dermo, selaku buyut Mbah Basyar yang konon merupakan orang pertama yang membabad daerah tersebut.

Menurut kakek berumur 88 tahun itu, buyutnya pada zaman dulu ingin membuat pemukiman di daerah tersebut, tetapi karena ada sumber besar dan berawa akhirnya ia mengurungkan niatnya. Ia kemudian melakukan berbagai cara, pertama dengan menutup sumber mata air dengan tanah tapi tidak berhasil. Kemudian ia menutupnya dengan sebuah batu tapi juga nihil. Setelah beberapa kali dilakukan akhirnya Mbah Iro Dermo berusaha menutupnya dengan menggunakan kapas pohon aren dan juga selo atau batu yang berukuran besar.

Ia dengan mengendarai cikar (kendaraan tradisional yang ditarik dengan sapi atau kerbau) membawa tumpukan kapas pohon aren dan selo tersebut untuk dijadikan sebagai penyumpal sumber mata air yang konon letaknya dulu ada di belakang Masjid samping rumah Mbah Basyar sekarang ini. Akhirnya usaha tersebut membuahkan hasil. Wilayah yang tadinya rawa-rawa akhirnya menjadi kering dan dapat digunakan sebagai pemukiman serta lahan pertanian.

Hal ini belakangan dibenarkan oleh salah satu warga, sebut saja Bambang (salah satu perangkat desa) yang ketika kecil dulu sering bermain di sekitar tempat sumber itu karena ada sungai dan seperti rawa-rawa yang banyak ikannya. Meskipun menurut penuturannya, pohon Gempol dan sumbernya sudah tak ada. Hanya tersisa musala yang sampai sekarang juga masih dijadikan sebagai tempat ibadah.

Di sisi lain, dusun Selojeneng itu sendiri menurut Mbah Maksum dan Mbah Sajid juga mengandung dua makna. Pertama, kata “selo” berarti batu (watu). Sedangkan “jeneng” adalah nama. Kedua, kata “selo” konon juga berarti nama plesetan dari Solo. Sebab kata Mbah Maksum, leluhurnya yang dulu membabad Dusun Selojeneng berasal dari daerah Solo. Atau lebih tepatnya adalah orang-orang pelarian pasca perang Jawa atau Dipanagara.

Seiring waktu berlalu, sambung Mbah Basyar, banyak warga pendatang yang kemudian ikut meminta tanah agar bisa bermukim di daerah Gempol itu. Ada yang datang memang hanya sekadar untuk singgah. Namun ada juga yang sengaja didatangkan dari wilayah lain dengan latar belakangnya adalah seorang santri. Atas kerelaan dari Mbah Basyar, mereka mendapatkan beberapa ruas tanah; ada yang mendapat 50 ru, 100 ru, bahkan sampai 500 ru. Mereka sengaja dikirim ke situ selain bermukim juga untuk berdakwah; menyebarkan agama Islam.

Kelak, beberapa keturunan Mbah Iro Dermo ini ada yang sampai mendirikan pondok pesantren. Menurut silsilah yang kami ambil dari hasil wawancara dengan Mbah Basyar, Mbah Iro Dermo memiliki empat orang anak salah satunya adalah kakek dari Mbah Basyar yakni Mbah Gunojoyo. Ia mempunyai tiga saudara yaitu Mbah Patimah, Mbah Musidah, dan Mbah Toirah. Perlu diketahui menurut cerita, Mbah Iro Dermo adalah orang dari Banten yang sengaja hijrah ke wilayah Gempol untuk berdakwah dan “babad alas”.

Hal demikian bisa saja benar sebab dalam sejarah, sebab menurut Uka Tjandrasasmita (2009), Banten pernah menjadi sebuah pusat ilmu pengetahuan Islam dimasa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Pada masa kejayaannya, Banten didatangi ulama-ulama dari berbagai daerah Nusantara untuk memperoleh pengetahuan agama yang lebih mendalam. Terlebih dengan adanya jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara, tarekat-tarekat menjadi berkembang seperti Tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Qadariyah wa Naqsyabandiyah, Sattariyah, Rifaiyah, dan Tarekat Khalwatiyah. Banten juga terkenal dengan permainan debus sebagai kesenian Islami.

Mitos Pohon Gempol

Setelah wilayah itu kering, di atas sumber tersebut kemudian ditanami pohon yang bernama Gempol. Inilah yang kemudian dijadikan rujukan sebagai sebuah nama dusun atau perdukuhan. Pohon ini tumbuh besar dan berumur panjang sampai dengan era Mbah Basyar. Menurut cerita, di dalam pohon tersebut tampak ada rongga yang kemudian dipahami sebagai akibat dari dorongan kekuatan sumber air dari bawah yang berusaha naik ke permukaan. Namun karena pohon tersebut cukup kuat pada akhirnya hanya air tersebut hanya memberikan rongga saja tanpa tumpah ke luar.

Kemungkinan letak pohon Gempol dan sumber mata airnya di masa lampau.

Namun lantaran pohon tersebut dirasa berbahaya sebab sudah berongga maka beberapa orang termasuk Mbah Basyar berinisiatif untuk menebangnya. Mbah Basyar kemudian berunding dengan warga, dan berujar bahwa jika pohon tersebut berhasil ditebang maka ia meminta setengah dari pohon tersebut.

Kemudian tibalah hari dimana Mbah Basyar bersiap untuk menebang pohon besar tersebut. Berhari-hari ia bersama beberapa santri melakukan ritual doa dan salat istikharah untuk memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Sebelum penebangan dilakukan, Mbah Basyar konon berhasil menemui makhluk gaib penunggu pohon tersebut.

Seperti cerita-cerita mitos yang berkembang selama ini, Mbah Basyar kemudian berhasil melakukan negosiasi agar makhluk halus penunggu pohon tersebut berkenan merelakan rumahnya ditebang. “Penunggunya adalah Jin Muslim sekeluarga,” tutur Mbah Basyar di sela-sela perbincangan. Setelah Jin Muslim tersebut pergi meninggalkan pohon beserta keluarganya, keesokan harinya pohon tersebut tumbang dengan sendirinya. Konon menurut Mbah Basyar Jin itu berpindah ke lokasi lain yang sekarang dipakai sebagai Gedung MWCNU Sumbergempol.

Jika diamati, cerita tutur di atas ada beberapa perbedaan terutama dari apa yang disampaikan Mbah Maksum dengan Mbah Basyar. Mereka boleh dibilang segenerasi, bahkan boleh dibilang umurnya pun sama jika merujuk pada data di kartu tanda penduduk. Dalam ingatan Mbah Maksum kecil, ia sama sekali sudah tak menemukan jejak sumber mata air dan pohon Gempol raksasa tersebut. Sedangkan Mbah Basyar justru mengaku masih menemui pohon Gempol raksasa itu dan ia jugalah yang awalnya berniat untuk menebangnya. Lantas cerita versi manakah yang benar?

Meski terdapat sedikit perbedaan antara dua tokoh sebelumnya, baik tentang media yang digunakan untuk menyumpal sumber mata air, maupun keberadaan pohon Gempol, akan tetapi intinya sesungguhnya sama. Kesamaan ceritanya adalah daerah tersebut dulunya ada sumber mata air besar di bawah pohon Gempol.

Terlebih meski tidak ada yang tahu pasti siapa dan kapan penamaan itu muncul, akan tetapi apa yang diungkapkan oleh para sesepuh desa tersebut mencerminkan suatu konsep kosmologi Jawa. Suatu pandangan atau keyakinan bahwa sumber mata air termasuk pohon-pohon besar merupakan representasi dari kekuatan adikodrati. Oleh karena itu, tidak aneh jika tempat-tempat itu biasanya dijadikan sebagai danyang desa atau bahkan nama dari dusun atau desa itu sendiri. Dan hal ini lazim ditemukan di desa-desa lainnya.

Punden Desa

Hampir bisa dipastikan bahwa banyak desa terutama di Jawa Timur, yang masih mengenal punden. Istilah ini merujuk pada tempat yang “disakralkan” atau “di-wingit-kan” oleh penduduk karena diyakini sebagai tempat bersemayamnya danyang desa. Ada beberapa versi tentang definisi danyang. Pertama, danyang dianggap sebagai tokoh pem-babad atau yang pertama kali membangun wilayah tersebut.

Mark. R. Woodward (2004) menyebut mereka sebagai “wali lokal.” Selain itu, mereka juga dianggap sebagai representasi dari ruh para raja, pangeran atau orang penting lainnya. Kedua, danyang dalam pandangan Clifford Geertz (1976) dianggap sebagai representasi dari demit, yang bersemayam pada pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang nyaris tersembunyi atau hal-ikhwal serupa lainnya.

Hal demikian juga terjadi di Sumberdadi. Menurut penuturan Mbah Sajid (78 tahun), dahulu danyangan Sumberdadi salah satunya adalah Srigading yang sekarang masuk dalam teritori Desa Plosokandang. Sebab dahulu kala wilayah Plosokandang—khususnya perbatasan paling timur sisi utara—masih menjadi wilayah Sumberdadi. Danyang itu pada zaman dahulu berbentuk pohon Palasa/Ploso (Butea Monosperma) besar.

Sejalan dengan pendapat Mbah Sajid—H. Jalil salah satu warga Desa Sumberdadi—juga membenarkan bahwa di sekitar punden tersebut dulunya terdapat pohon Ploso yang mengelilingi sebuah kendang yang konon di dalam kendang tersebut terdapat semua jenis hewan hidup. Oleh sebab itu desanya pada akhirnya dinamakan Plosokandang. Perbatasan wilayah antara kedua desa: Sumberdadi dan Plosokandang sejatinya memang tidak bisa dipisahkan dari aspek sejarahnya.

Selain Punden Srigading, di Dusun Selojeneng Barat juga terdapat punden yang dinamakan dengan Ki Ageng Nilo Suwarni atau masyarakat sekitar mengenalnya dengan Mbah Ageng yang terletak di ujung utara Desa Sumberdadi dan berbatasan langsung dengan tapal batas desa Plosokandang. Punden tersebut berbentuk bangunan semi limas tanpa tembok dan ada alas bergaya mihrab di ujung barat. Bangunan tersebut merupakan bangunan baru karena telah direnovasi oleh kepala desa saat ini.

Penampakan Punden Mbah Ageng saat ini yang dihimpit oleh persawahan.

Menurut cerita tutur, konon punden tersebut pada masa lampau dikelilingi oleh tembok-tembok seperti gaya kerajaan Mataram. Namun sayangnya, tembok tersebut sudah tak berbekas sama sekali saat ini. Saat ini punden tersebut masih dirawat oleh warga sekitar, bukan sebagai bentuk kegiatan sinkretisme agama, tapi menjadi sarana untuk peringatan hari besar Islam seperti 1 Muharram (Suro), megengan dan lain sebagainya.

Ada cerita tutur versi lain yang menyebut bahwa punden tersebut dulu sempat dijadikan tempat berkumpulnya pasukan Dipanagara ketika mereka sedang melakukan “hijrah” ke Bang Wetan (Jawa Timur). Konon sebelum mem-babad daerah Srengat, Blitar yang oleh Raffles dalam The History of Java ditulis Sringat itu, mereka sempat mampir di punden Mbah Ageng.

Cerita itu mungkin tampak janggal dan tak masuk akal. Selain tak ada bukti tertulis, ceritanya tampak terlalu dipaksakan. Namun memang begitulah kelemahan cerita tutur, selama tak ada manuskrip atau situs yang jelas maka sumber cerita seolah menjadi absah satu-satunya.

Selain itu, masih ada satu punden lagi yang terletak di Dusun Selojeneng timur. Nama punden-nya adalah Mbah Drono Sumito. Penamaan tersebut merujuk pada dua nama Mbah Drono dan Mbah Sumito. Sebab menurut penuturan warga, punden tersebut disinyalir merupakan makam dua orang laki-laki dan perempuan. Ada yang menyebut mereka adalah demang pertama, tapi ada juga yang menyebut mereka adalah pelarian dari wilayah Mataram untuk menghindari peperangan.

Potret Punden Mbah Drono Sumito di daerah Selojeneng Timur.

Tak banyak data yang bisa digali tentang cerita punden ini. Namun menariknya, warga setempat menyakini bahwa danyang yang menempati punden tersebut tidaklah jahat. Mereka menyebutnya dengan istilah danyangan putihan.

Saya jadi ingat dengan istilah Geertz yang dalam kepercayaan masyarakat Mojokuto pada saat itu danyangan juga dibedakan menjadi dua: baik dan jahat. Danyang baik mewakili istilah “putih” dan danyang jahat adalah “abang”. Dikotomi dua istilah makhluk halus yang sesungguhnya diadaptasi dari transformasi sosial masyarakat Jawa pada masa lalu. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.