Sudut Pandang

Qur`an, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Marginalisasi

Qur`an, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan Marginalisasi

Wacana tentang Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini. Salah satu isu yang dijadikan sorotan adalah tentang bagaimana mereka (masih) dianggap sebagai kelompok rentan (vurnarable group).

Kelompok rentan merupakan kelompok yang berpotensi mendapatkan diskriminasi. Salah satu faktor diskriminasi itu adalah doktrin agama yang memandang LGBTQ menyalahi ketetapan Tuhan. Justifikasi tersebut biasanya dilandasi oleh teks agama an-sich.

Dalam konteks inilah, teks agama dan tafsir tekstual yang memayungi otoritas agama berperan sentral dalam siklus diskriminasi pada kelompok LGBTQ. Meski begitu, seiring perubahan zaman, beberapa tokoh mulai melakukan kajian-ulang terhadap teks agama yang potensial melegitimasi tindakan diskriminasi tersebut. Salah satunya adalah Scott Sirajj al-Haqq Kugle.

Melalui publikasi bertajuk, The Reception of the Qur’an in the LGBTQ Muslim Community (2018), Kugle memberikan telaah terhadap kelompok LGBTQ Muslim yang mencoba untuk meresepsi teks-teks Qur`an. Ia sangat menyadari bahwa upaya tersebut jelas melawan hegemoni tafsir konvensional yang menempatkan LGBTQ dalam posisi tidak penting (peripheral).

Apa yang dilakukan Kugle sesungguhnya tidak melakukan tafsir yang spesifik Qur`an. Ia dalam artikelnya itu ingin menunjukkan bagaimana LGBTQ menjadi “new-Muslim.” Kugle melakukan telaah atas wawancara lima orang anggota komunitas yang berasal dari etnis, bangsa, dan orientasi agama yang terafiliasi jaringan global. Ia menyebut kelompok LGBTQ itu sebagai queer Muslim sebagai tanda perlawanan atas anggapan “abnormalitas.” Sekadar diketahui, queer adalah kelompok yang tidak merujuk pada identitas gender (genderless). Komunitas ini hadir untuk siapa pun yang termarginalkan lantaran orientasi dan praktik seksual yang berbeda.

Dalam konteks yang lebih jauh, Kugle secara terang-terangan ingin mengeksplorasi bagaimana agama yang melakukan marginalisasi dan ketidakadilan tidak bisa disebut sebagai agama kasih sayang. Situasi tersebut mengarahkan queer Muslim untuk mereformulasi prinsip Qur`an yang mendasarkan pada: pertama, realisasi nilai-nilai dalam kehidupan sosial, kedua, afirmasi pada hakikat keragaman, ketiga, perlindungan martabat manusia, keempat, menjunjung keadilan, kelima, menjadikan kasih sayang sebagai penyangga utama dasar Islam.

Komunitas queer Muslim hadir dalam situasi terpinggirkan. Komunitas mereka—bila ditinjau dari orientasi agama—tidak eksklusif; mereka berasal dari Syiah, Ismaili, Salafi dan bahkan Sufi. Kehadirannya tidak dalam rangka orientasi agama, melainkan dari situasi tidak berdaya.

Komunitas queer Muslim terbentuk untuk melawan ketidakadilan yang menerpanya. Mereka berjejaring untuk memberikan dukungan satu sama lain untuk tetap keluar dari ketidakadilan. Komunitas ini—sebagaimana penjelasan Kugle—merupakan komunitas yang benar-benar beragam dan cair.

Kugle dalam membuktikan argumennya itu menyodorkan fakta bahwa queer berdasarkan studi klinis tidak memilih identitasnya. Identitas bagi mereka bukanlah suatu konstruksi. Identitas queer melampaui pilihan rasional dan tidak pernah bisa dikontrol.

Dalam diagnosa psikiatri sendiri, LGBTQ bukan perilaku menyimpang atau penyakit jiwa. Setiap upaya mengontrol atau mengubah identitas mereka selalu berujung dan mentok pada masalah mental seperti kecemasan, depresi, perilaku destruktif dan dalam kadar ekstrem bisa berujung pada bunuh diri. Upaya untuk mengontrol mereka dilakukan masyarakat karena menganggap mereka sebagai kelompok “abnormal.” Sementara asumsi masyarakat tersebut berlawanan dengan fakta sains yang sudah dijelaskan.

Komunitas queer Muslim hadir dalam situasi terpinggirkan. Komunitas mereka—bila ditinjau dari orientasi agama—tidak eksklusif; mereka berasal dari Syiah, Ismaili, Salafi dan bahkan Sufi. Kehadirannya tidak dalam rangka orientasi agama, melainkan dari situasi tidak berdaya.

Asumsi masyarakat itu menjadi dominan sehingga meletakkan identitas queer menjadi minoritas. Kelompok queer tidak bisa mencari sandaran dalam keluarga, komunitas agama, dan komunitas masyarakat lainnya. Karena diskriminasi berlapis-lapis itulah kelompok itu tidak mengekspresikan jati-diri ke ruang publik.

Mereka memilih diam dan mengisolasi diri sebagai konsekuensi dari stereotipe yang mengakar di masyarakat. Lapisan diskriminasi yang didapatkan oleh queer Muslim menjadi alasan utama Kugle menyebut mereka sebagai “..deep diversity in condition of dispersity unified by adversity while resisting the stigma of perversity.”

Diskriminasi berlapis-lapis itu memunculkan upaya untuk keluar dari jerat diskriminasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan kelompok queer Muslim ialah dengan menafsirkan kembali Qur`an. Queer Muslim menempatkan Qur`an sebagai interpretative community (kelompok interpretatif). Interpretative community dipahami sebagai “textual” dan “experiential” sekaligus.

Dalam konteks tradisi Sunni dan Syiah, mereka memberi penghargaan tinggi pada tradisi “tekstual.” Sementara dalam tradisi lain berdasarkan pada tradisi oral atau pengalaman personal. Kedua hal tersebut dianggap menyesatkan. Karena pada tradisi tekstual, penafsiran dianggap bias pengalaman laki-laki patriarkal, aristokrat, pemilik budak, dan dipakemkan dalam tradisi tekstual. Lain hanya dengan model “experiential” yang menganggap bahwa penafsiran dilihat dari kelompok elite yang parsial dialamiahkan ketimbang dimaknai sebagai suatu bentuk upaya berkuasa dan mendominasi. 

Cara memahami demikian tentu saja tidak akan memberikan perspektif baru terhadap queer Muslim. Kugle memberikan penjelasan bahwa queer Muslim mengadopsi metode feminis Muslim yakni refleksi kritis feminis. Metode tersebut mendorong menyuarakan pengalaman mereka—membicarakan di ruang privat, menulis kisah hidup, terlibat dalam diskusi jurnalistik dan mengekspresikan melalui seni—dan berpartisipasi dalam debat teologi (kalam) dalam tradisi Islam.

Lebih jauh lagi, melalui hadis dan fikih, queer Muslim mengekstrasi prinsip ideal keadilan, kesetaraan, keragaman, kasih sayang, kepedulian dan cinta sebagai menifestasi Tuhan menerima keberadaan mereka. Sementara queer Muslim lain secara intuitif mendasarkan pada pengalaman dan mendasarkan pandangan pada tulisan ilmuwan dan reformis Islam. Upaya itu kerapkali dianggap sebagai kelompok yang menyebarkan virus menular dan konspiratif. Queer Muslim sendiri menyikapinya dengan merefleksikan dirinya sebagai kelompok ‘mustad’afun fi-ard’ sebagaimana tercantum dalam Qur`an (QS. 4:75, 127; 8:126; 28:5 dan 34:31).

Keseluruhan penjelasan di atas sesungguhnya bersumber pada wawancara Kugle terhadap lima orang bernama Hanif, Hamida, Mehar, Javed dan Naseer. Lima orang tersebut memberikan penafsiran yang beragam dan memiliki kesamaan prinsip sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Lima orang tersebut sesungguhnya tidak memiliki metode tunggal dalam menafsirkan Qur’an.

Lebih jelasnya, Kugle menjelaskan bahwa menyamakan LGBTQ dengan sodomi adalah kekeliruan. Karena bagaimanapun sodomi bukanlah orientasi seksual.  Dalam hal ini Kugle menegaskan bahwa, “Islamic legal rulings condemn them through the terms sodomy (liwat) and tribadism (sihaq), but these term are not found in the Qur’an; they were invented later by jurists.”

Kugle juga melihat narasi lima orang itu menunjukan kompleksitas formasi subyek pada queer Muslim. Mereka mengalami dua formasi subyek: pertama, berhadapan dengan keluarga yang berkompromi dengan agama, budaya dan norma sosial. Kedua, mereka memiliki kesadaran penuh untuk tetap menjadi dirinya untuk menghadapi segala bentuk stereotipe yang didapatkannya. Queer Muslim pada gilirannya menjadi jaringan global yang saling mendukung dan punya empati terhadap setiap diskriminasi berselimut ras, gender dan identitas lainnya. Mereka berusaha semaksimal mungkin meyakinkan bahwa Qur`an tidak mengutuk keberadaan LGBTQ. []

Share this post

About the author

Mahasiswa Pascasarjana Akidah & Filsafat Islam sekaligus Peneliti di IJIR UIN Satu Tulungagung.