Wartakita

Watujoli, dan Sepenggal Narasi Sejarahnya

Watujoli, dan Sepenggal Narasi Sejarahnya

Hidup, dan dibesarkan di desa adalah sebuah anugerah. Hal ini menyangkut bagaimana kita bisa lebih akrab dan dekat dengan local wisdom (kearifan lokal) yang ada di sekelilingnya. Entah dari cerita tutur yang sedemikian banyak, potensi budaya yang ada, dan relasi sosial masyarakatnya yang masih mengamalkan visi gotong-royong serta kerukunan dalam menjalani hidup.

Berbagai keunikan, dan kelebihan tersebut yang membuat penulis merasa bangga karena telah lahir serta tumbuh di desa. “Desa adalah anak kandung peradaban,” kurang lebih demikian keyakinan saya. Masyarakat terbentuk dari interaksi-interaksi kecil yang akhirnya berkembang, dan membesar. Sama halnya kebudayaan, budaya bernapas dengan olah laku keseharian yang turun-temurun dijalankan di sebuah desa.

Sore itu, sekira Bulan Desember 2021, bertempat di sebuah warung kopi, kami Tim Diskursus Institute berkesempatan ngobrol dengan Eko Wijianto, Sekretaris Desa (Sekdes) Pucungkidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Kang Eko—sapaan akrab Sekdes muda yang juga (pernah) menjabat sebagai Ketua Karangtaruna Cabang Tulungagung itu—menjelaskan sebuah desa potensial yang terletak di Kecamatan Boyolangu bernama Pucungkidul. Sebuah desa yang dihimpit oleh kesejarahan besar yang kita kenal sebagai Babad Boyolangu.

Sayangnya, keberadaan Watujoli ini kini sudah tidak ada bekasnya. Benda bersejarah ini lenyap dikarenakan prahara yang terjadi di tahun 1965 tersebut. Perubahan tatanan negara, dan kultur keagamaan masyarakat menjadi salah satu penyebab munculnya proses purifikasi.

Ada satu hal yang menarik bahwa desa ini diapit oleh Desa Boyolangu dan Desa Sanggrahan; dua desa dengan ikonik yang kental dengan sejarah cikal-bakal Tulungagung. Di poros barat, berdiri kokoh Candi Gayatri, atau yang familiar dikenal sebagai Candi Boyolangu.

Sedangkan, di sisi timurnya, desa ini bersandingan langsung dengan letak bangunan Candi Sanggrahan, atau disebut juga sebagai Candi Cungkup karena lokasinya berada di lereng bukit, dan di bawahnya terdapat anak sungai yang oleh masyarakat setempat dinamai sebagai Kali Cungkup.

Selain itu, di dekatnya ada juga lokasi yang dikenal sebagai Cencangan/Cancangan Gajah, sebuah tempat untuk mengistirahatkan (parkiran) Gajah yang pada saat itu digunakan oleh para raja sebagai tunggangan. Keunikan ini memberi gambaran bahwa dimungkinkan wilayah ini dahulu merupakan satu distrik yang sama, satu wilayah yang utuh, hingga akhirnya dipecah-pecah pada dekade selanjutnya sebagai desa tersendiri.

Kecurigaan kami ini akhirnya menghantarkan satu kesepakatan untuk melakukan pengkajian lebih dalam terkait Desa Pucungkidul, dengan menggali alur sejarahnya, temuan benda bersejarah hingga prospek potensi yang akan dikembangkan kemudian hari.

Fragmen Sejarah Desa Pucungkidul

Menurut penuturan sesepuh, dan tokoh masyarakat yang telah diceritakan secara turun-temurun, Pucungkidul terbentuk menjadi sebuah desa sejak tahun 1710, dengan demang yang pertama bernama Mbah Pret. Konon keturunannya masih ada sampai saat ini, yakni Keluarga Kartowiryo yang juga masih tinggal di Desa Pucungkidul.

Lantas, pola pemerintahan ini pun berlanjut pada masa kepemimpinan Lurah yang diketahui sebagai Mbah Demang (kisaran 1911-an sampai 1922-an). Selaras dengan hal ini, hasil wawancara yang kami gali dari sesepuh desa, sebut saja Mbah Parman, juga menuturkan demikian. Laju pemerintahan ini dilanjutkan hingga sampai masa kepemimpinan Lurah yang sekarang, Kadis Winarto.

Desa Pucungkidul memiliki dua Dusun, Dusun Krajan, dan Glodogan. Ada hal menarik yang perlu dicatat, konon nama “Pucung” diambil dari buah Kepayang, atau yang sering disebut sebagai Keluak (Pangium Edule) yang masih muda.  Disebut dengan istilah pucung, yaitu buah dari Keluak muda atau masyarakat Jawa lebih mengenal dengan nama kluwak yang kemudian jika sudah tua disebut dengan kluek atau kluwak.

Penamaan ini selaras dengan adanya hutan (wana) yang masih asri di desa ini, berlokasi di Dusun Glodogan. Kemudian kata “Pucung” diberi tambahan kata kidul (selatan) untuk membedakan lokasi wilayah dari desa lain, yakni Pucunglor, “lor” yang berarti utara.

Punden Watujoli

Desa Pucungkidul memiliki banyak tinggalan sejarah, baik berwujud punden, makam, candi, arca, bebatuan kuno dan bahkan sebuah tangga dari batu yang dikenal sebagai umpak sewu. Dari berbagai tinggalan tersebut, tidak banyak cerita yang melatarbelakanginya, atau bahkan dalam obyek yang lain sama sekali tidak diketaui asal-usul atau tujuannya dibangun.

Namun ada satu hal yang ikonik, yaitu Punden Watujoli. Punden dalam benak orang Jawa dianggap sebagai hunian yang didiami oleh kekuatan magis atau astral oleh para leluhurnya. Orang sering menyebutnya sebagai danyang. Danyang memiliki keterikatan kosmologis dalam alam batin, dan alam pikir manusia Jawa, dalam konsepnya, ada hubungan antara makrokosmos, dan mikrokosmos. Makrokosmos adalah jagad atau alam semesta yang dihuni oleh manusia, sedangkan mikrokosmos ialah manusia itu sendiri.

Andrew Beatty (2001) pernah menyebut bahwa dalam ruang kebatinan masyarakat Jawa, alam semesta ini dibatasi oleh kiblat papat kalimo Pancer: wetan (timur), kidul (selatan), kulon (barat), lor (utara), dan pancer (tengah). Tengah atau pancer ini merupakan pusat kosmis dari masyarakat Jawa, yang dapat memberikan keseimbangan, penghidupan dan kestabilan untuk dihubungkan dengan dunia atas (visi ketuhanan).

Keterhubungan ini berpuncak dalam takaran ke-manunggalan, pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai konsep manunggaling kawulo lan Gusti; suatu penyerahan diri manusia untuk mencapai tingkat harmonis dengan semesta, yang akhirnya berpucuk pada penghambaan sepenuhnya kepada Gusti (Sang Pencipta). Konon, menurut penuturan Mbah Parman, danyang yang menempati punden ini bernama Gadung Melati.

Sedangkan, jika ditelisik dari pemaparan ini, esensi dari danyang tersebut berhuni atau bersemayam di dalam punden. Senada dengan hal itu, Clifford Geertz (2014) menyebut bahwa demit, danyang, lelembut dan hal astral lain dalam berbagai arti berhuni di dalam ruang keramat yang disebut punden. Punden bisa berwujud dari reruntuhan Hindu (bisa berupa patung atau bebatuan), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air atau kekhususan topografis semacam itu.

Sebagai tempat yang dikeramatkan, di pelataran area punden ini dahulu sering dijadikan sebagai tempat nyadran, tayuban, dan berbagai upacara adat lain. Upacara adat itu biasanya digelar saat akan mulai musim tanam. Seiring berjalannya waktu, dan proses islamisasi yang berkembang, kini area Watujoli tetap dikeramatkan, tapi dengan model pagelaran yang berbeda; slametan.

Jika ditilik lebih intim, kata “Watu” dalam ulasan kamus Jawa diartikan sebagai “batu” atau “obyek fisik keras.” Orang Jawa seringkali menggunakan kata ini sebagai kata sifat (adjective) sekaligus kata benda (noun) yang menunjukkan watak yang “keras kepala” dan “pongah.”

Dalam sebuah perbincangan, Dwi Cahyono—arkeolog sekaligus pemerhati sejarah—menceritakan bahwa benda seperti Watujoli ini banyak dijumpai di Jawa, khususnya Jawa Timur.

Maka dari itu, dalam skema peribadatan atau budaya tertentu orang Jawa sering menggunakan obyek ini sebagai tempat menumbuk, bahan azimat atau bahan material membangun hunian. Bahkan jika menelisik artefak, dan peninggalan yang ada di masa lalu, banyak sekali situs seperti candi, punden atau petilasan yang konstruksinya berasal dari obyek ini.

Lain hal, istilah “Joli” merupakan sebuah kata yang memiliki sinonim lumayan banyak. Kalau merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2022) dan Kamus Bahasa Jawa, kata Joli berarti “Tandu yang biasanya tertutup atau bertirai untuk mengusung raja, putri putri keraton, dan sebagainya; usungan.” Lebih mudahnya, dimaknai sebagai tandu yang dulu mahsyur digunakan di era kerajaan.

Sebaliknya, “Joli” juga dimaknai sebagai “pasangan” atau kita familiar menyebut dan mendengarnya dalam lafaz “sejoli” atau sesuatu yang berpasang-pasangan dan saling terikat. Jika melihat kesesuaian makna, dan punden tersebut, bisa diperkirakan bahwa Watujoli lebih dekat dengan makna tandu yang massif digunakan di zaman dahulu.

Sayangnya, keberadaan Watujoli ini kini sudah tidak ada bekasnya. Benda bersejarah ini lenyap dikarenakan prahara yang terjadi di tahun 1965 tersebut. Perubahan tatanan negara, dan kultur keagamaan masyarakat menjadi salah satu penyebab munculnya proses purifikasi. Syahdan, Watujoli ditenggelamkan, ada yang bilang di sebuh sumur, dan ada yang bilang di Sungai Brantas bebarengan dengan obyek budaya seperti arca dengan alasan syirik, serta berhala.

Ada keterkaitan menarik dari Watujoli dengan candi yang berjejer di area Babad Boyolangu. Jika menelisik sejarah, seperti yang dituturkan oleh Maftukhin (2018), dan Dwi Cahyono, dkk., (2010) Gayatri Rajapatni memilih Ngrowo sebagai tempat pertapaannya. Nah, sebagai ratu Majapahit, ia sudah pasti membutuhkan tunggangan sebagai media transportasinya. Dan Cencangan Gajah yang berada di area Candi Sanggrahan adalah salah satu buktinya.

Adanya Watujoli yang diasumsikan dengan makna “tandu”, memperlihatkan ada kesesuaian simbol bahwa tikar tandu yang ada di atas Gajah tersebut diabadikan dalam wujud batu, atau watu yang sekarang dikenal sebagai Watujoli tersebut. Asumsi kami, hal itu sebagai simbol perjalanan dari Keraton hingga bumi Ngrowo pada masa lampau. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Googling Iman" dan Peneliti di Diskursus Institute