Sudut Pandang

Honor Killing: Melanggengkan Diskriminasi melalui Tradisi

Honor Killing: Melanggengkan Diskriminasi melalui Tradisi

Perlindungan jiwa manusia merupakan salah satu prinsip fundamental dalam maqashid syariah. Maqashid syariah adalah tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk mewujudkan kemashlahatan umat manusia dengan pedoman syara’. Dalam hal ini, Islam melindungi seluruh nyawa dan jiwa tanpa membedakan jenis kelamin. Kehidupan laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama di mata maqashid syariah.

Imam asy-Syatibi (2003) misalnya, menegaskan bahwa prinsip maqashid syariah berangkat dari asumsi bahwa segenap aturan yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi seluruh hamba-Nya, baik di masa sekarang (dunia) dan masa yang akan datang (akhirat).

Maka segala bentuk tindakan yang menciderai nilai-nilai maqashid secara garis besar juga menciderai ajaran-ajaran Islam itu sendiri, misalnya pembunuhan.

Namun, kendati demikian masih terdapat tindakan pembunuhan yang mendapat justifikasi atas nama tradisi, yaitu honor killing. Honor killing adalah pembunuhan atas nama kehormatan yang terjadi ketika seseorang (atau beberapa orang) melanggar norma-norma yang diberlakukan oleh komunitasnya dan ditentukan oleh budaya setempat (Annavarapu, 2013).

Honor killing merupakan fenomena tradisi yang sarat dengan bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini bias gender bisa menjadi sangat langgeng jika ditopang oleh legitimasi budaya.

Di Indonesia, honor killing pertama kali ditemukan dalam kasus seorang gadis berusia 16 tahun bernama Rosmini binti Darwis di Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada Mei 2020 lalu.

The Jakarta Post, melaporkan bahwa gadis itu dibunuh oleh anggota keluarganya sendiri setelah terindikasi melakukan hubungan seks di luar nikah dengan pamannya (Mulyanto, 2020). Motif pembunuhan gadis itu karena telah mencemarkan nama baik dan merusak siri’ seluruh keluarga.

Siri’ merupakan perasaan malu yang luar biasa yang dialami oleh suku Bugis-Makassar karena harkat-martabat diri dan keluarganya telah dicoreng. Bagi Suku Bugis-Makassar, harkat dan martabatlah yang menjadikan mereka manusia, tanpa kedua itu mereka hanyalah entitas yang menyerupai manusia.

Seseorang atau kelompok yang terusak siri’-nya diharapkan melakukan sesuatu untuk mengembalikan kehormatannya. Prinsip hidup ini tercermin dalam pepatah “lebih baik mati membela kehormatan (mate ri siriqna) daripada terus hidup tanpa siriq (mate siriq) (Kadir, 2017).

Maka seperti kata M. Cempaka dalam Indonesian Family Commits ‘Honour Killing’ Against Teenager for Having Sex, pembunuhan terhadap pelaku zina dinilai mampu mengembalikan citra dan kehormatan.

Baca juga: https://diskursusinstitute.org/2021/12/28/islam-gender-dan-kekerasan-seksual/

Akar ajaran honor killing secara umum sebenarnya masih menjadi perdebatan. Dogan (2013) dan Knudsen (2004) menyebut bahwa tradisi ini secara luas banyak tersebar di wilayah Asia dan Timur Tengah, terutama negara-negara Muslim.

Honor killing sering kali diasosiasikan oleh kalangan pihak di Barat dengan tradisi Islam. Penekanan tentang pentingnya menjaga moral dan corak patriarki yang kental juga cenderung mempermudah identifikasi honor killing sebagai dogma agama.

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Fakir M. Al Gharaibeh dalam, Debating the Role of Custom, Religion and Law in Honour’Crimes: Implications for Social Work. Ia menegaskan bahwa meskipun honor killing banyak ditemukan di negara-negara Muslim, para sarjana umumnya tidak sepakat bahwa tradisi itu mendapat legitimasi dari Islam.

Menurutnya, tradisi tribalismelah yang membentuk budaya honor killing. Aspek kesukuan berkontribusi pada honor based violence melalui kontrol patriarkal atas seksualitas perempuan yang terus menerus dipraktikkan sehingga menjadi norma baru yang disepakati.

Dengan demikian, corak patriarki merupakan hal yang inheren dalam tradisi honor killing. Corak ini pula yang ditemukan dalam tradisi siri di Sulawesi Selatan. Tradisi siri’ juga berjalan secara simultan dengan praktik patriarki yang masih mengakar di Indonesia. Secara langsung, tradisi ini turut berkontribusi dalam melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan.

Andreas Harsono—peneliti di Human Rights Watch Indonesia—menyatakan bahwa honor killing berpotensi menjadi inspirasi bagi keluarga lain untuk melakukan tindakan serupa. Alissa Wahid, Direktur Jaringan Gusdurian Indonesia, menekankan bahwa pembunuhan demi kehormatan dalam siri’ dapat melanggengkan bias gender di Indonesia karena menempatkan anak perempuan sebagai pihak yang rentan akan subordinasi (Chew, 2020).

Tradisi siri’ sebenarnya secara prinsip memposisikan perempuan sebagai simbol kehormatan suatu masyarakat. Sebuah doktrin yang terdengar sangat istimewa karena artinya perempuan memiliki nilai kehormatan lebih daripada laki-laki.

Namun pada kenyataannya, di sisi lain, simbolisme ini justru menjebak perempuan pada suatu tempat di mana mereka terkekang oleh asumsi sosial yang memaksa perempuan untuk berhati-hati dalam bersikap.

Dalam siri’, perempuan tampak bertanggung jawab atas reputasi sebuah kelompok. Ia diberi beban seolah-olah hanya di tangan mereka kehormatan keluarga tetap terjaga. Hal itu otomatis akan selalu menjadikan perempuan sebagai tumbal atas rusaknya suatu kehormatan kelompok, dalam kasus keluarga misalnya.  

Dalam tradisi siri’, perempuan yang belum menikah, berapapun usianya, berada dalam pengawasan pihak keluarga. Jika ia sudah menikah, perempuan ada di bawah pengawasan suaminya. Perempuan dianggap sebagai simbol dari siri’ maka perilakunya harus dipantau ketat agar tidak menciderai nilai siri’ tersebut (Idrus, 2005).

Hilangnya siri’, menurut ajaran Bugis, sama saja dengan hilangnya kehidupan. Maka membunuh seseorang karena siri’ merupakan hal yang diterima secara budaya.

Di Pakistan, pembunuhan terhadap laki-laki bisa didaftarkan ke polisi setempat untuk mencegah pelakunya melarikan diri dan menetap di suatu tempat.

Akan tetapi, pembunuhan terhadap perempuan tidak pernah dilaporkan karena alasan pembunuhannya merupakan hal yang tidak terhormat. Pembunuhan terhadap perempuan atas dasar honor dinilai sebagai kasus yang tidak signifikan (Knudsen, 2004). 

Semangat patriarki ini sangat ditentang oleh Islam. Islam menunjukkan penentangan ini salah satunya melalui al-Qur’an. Pada masa-masa awal Islam, al-Qur’an dalam QS. An-Nisa: 15-16 memang menempatkan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan atas perbuatan zina.

Namun tak berselang lama, QS. an-Nur: 7 turun dan menghapus syariat QS. An-Nisa: 15-16. QS. an-Nur: 7. Ayat-ayat itu menegaskan bahwa semua pihak yang turut andil dalam perbuatan zina mendapat porsi hukuman yang sama. Laki-laki dan perempuan terkena had yang sama jika terbukti melakukan zina. Dialektika ini membuktikan bahwa sebenarnya Islam tidak mendukung  budaya patriarki.

Sehingga boleh dikatakan bahwa honor killing merupakan fenomena tradisi yang sarat dengan bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini bias gender bisa menjadi sangat langgeng jika ditopang oleh legitimasi budaya.

Seperti kata Clifford Geertz (1973), budaya adalah aturan-aturan makna yang dimiliki dan diyakini secara kolektif. Artinya, akan berbahaya jika ada asumsi bahwa karena siri’ merupakan tradisi yang telah mengakar di Indonesia, maka honor killing adalah salah satu bentuk pengejawantahan tradisi itu.

Jika doktrin itu mapan, maka nyaris tidak ada harapan lagi bagi implementasi keadilan gender dan komitmen eliminasi kekerasan terhadap perempuan khususnya di Indonesia. []

Share this post

About the author

Mahasiswa Ilmu al-Qur’an & Tafsir Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta