Sudut Pandang

Kiprah Politik Sultan Hamengku Buwono IX: dari Kesultanan Yogyakarta sampai Republik Indonesia

Kiprah Politik Sultan Hamengku Buwono IX: dari Kesultanan Yogyakarta sampai Republik Indonesia

 

Gusti Raden Mas Dorodjatun alias Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan HB IX) lahir pada 12 April 1912 M di Kampung Sompilan, Jl. Ngasem No. 13, Yogyakarta. Pemberian nama Dorodjatun konon menyimpan harapan agar kelak ia memiliki derajat yang tinggi, cakap mengemban kedudukan, dan berbudi pekerti yang baik. Ia merupakan putra dari pasangan Gusti Pangeran Haryo Purboyo (Sultan Hamengku Buwono VIII) dan R.A Kustilah.

Pendidikan formal Sultan HB IX sejak masa anak-anak sampai perguruan tinggi ditempuh di sekolah Belanda sekaligus “dipondokkan” dalam lingkup keluarga tersebut. Hal ini dilakukan oleh orang tuanya agar Sultan HB IX bersikap terbuka terhadap pembaruan tanpa harus kehilangan jati diri dan kepribadian sebagai orang Jawa (Atmakusumah [ed.]: 2011).

Sisi menarik dari Sultan HB IX—seperti yang disitir dari John Monfries dalam A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta—bahwa sebagai seorang raja, ia menggunakan status sultan bukan hanya untuk mendukung kepentingan Republik Indonesia, melainkan juga untuk memastikan ketahanan politiknya, yaitu Kesultanan Yogyakarta.

Tatkala ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII mangkat pada 1939, Dorodjatun naik tahta mengemban kepemimpinan di Kesultanan Yogyakarta. Pengangkatan Dorodjatun sebagai sultan tidak terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada waktu itu. Hal ini dikarenakan adanya setting sejarah sejak Kerajan Mataram Islam.

Pada akhirnya, tepatnya 18 Maret 1940, Dorodjatun diangkat oleh pemerintahan Hindia-Belanda yang diwakili Gubernur Lucien Adam sebagai Putra Mahkota sekaligus dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Menurut A. Adaby Darban dalam Birografi Pahlawan Nasional Sultan HB IX, pemberian gelar tersebut dapat diartikan bahwa Sultan HB IX mempunyai kuasa penuh atas kerajaan dalam mengatur segala persoalan baik yang berhubungan dengan militer, politik ataupun agama.

Lantas, apa perjuangan yang dilakukan oleh Sultan HB IX dalam konteks Kesultanan Yogyakarta dan Negara Republik Indonesia? Dari sisi politik, kiprah Sultan HB IX  dimulai pada saat menjelang pelantikannya sebagai Sultan HB IX. Ia melakukan kontrak politik yang ketat dengan pemerintah Hindia-Belanda.

Setelah Soekarna-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agutus 1945—masih menurut Atmakusumah [ed.] (2011)—Sultan HB IX mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta bagian dari Republik Indonesia.

Perundingan tersebut di antaranya membahas tentang kedudukan Pepatih Dalem (penghubung antara sultan dengan pemerintah Hindia-Belanda) yang memiliki dwifungsi dan dwiloyalitas, penentuan Dewan Penasihat Kasultanan, dan persoalan prajurit keraton.

Barulah pada masa kolonialisme Jepang, keinginan Sultan HB IX untuk membenahi birokrasi di Kesultanan Yogyakarta menemui titik terang. Setelah pemerintah Hindia-Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942, sultan melakukan negoisasi dengan pemerintah Jepang agar segala urusan yang menyangkut perihal kesultanan terlebih dahulu dibicarakan kepadanya dan akhirnya Yogyakarta ditetapkan sebagai pemerintahan kochi (daerah istimewa) pada 12 Maret 1942 oleh Jepang (Aan Ratmanto: 2012).

Lebih jauh, P.J. Suwarno dalam bukunya, Hamengku Buwono IX dan Birokrasi Yogyakarta, menyebut bahwa pada masa transisi dari pemerintahan Hindia-Belanda ke pemerintahan Jepang, Sultan HB IX mengganti 24 nama kantor yang berbahasa Belanda dengan Bahasa Jawa/Sanskerta pada 23 Maret 1942.

Selanjutnya Sultan HB IX mengubah Pengadilan Darah Dalem menjadi proses pengadilan biasa. Ia juga mempraktikkan demokrasi dengan memberikan otonomi kepada kabupaten. Gagasan-gagasan sistem birokrasi yang dilakukan oleh Sultan HB IX ini merupakan perpaduan antara sistem birokrasi tradisional dan modern: mendasarkan pada tradisi dan Undang-Undang Dasar (UUD).

Sebagai contoh perubahan kebijakan yang berhasil dilakukan oleh Sultan HB IX adalah adanya Balai Rakyat yang berfungsi sebagai pengawasan dan perhitungan suara rakyat. Meskipun usulan sistem birokrasi yang disampaikan oleh sultan tidak semuanya disetujui oleh pemerintahan Jepang, tapi hal ini menjadi pertimbangan tersendiri dalam merumuskan undang-undang tata pemerintahan di Jawa kala itu.

Pada masa pendudukan Jepang waktu itu, terdapat pengerahan tenaga paksa atau romusha yang dilakukan oleh instansi-instansi pamong praja. Dalam liputan khusus di koran Merdeka (10/5/2013) dikatakan bahwa untuk menghindarkan masyarakat dari kekejaman romusha, Sultan HB IX mengusulkan pembangunan saluran irigasi dari Sungai Progo ke arah timur hingga tembus Sungai Opak yang dinamakan Selokan Mataram. Selokan tersebut masih digunakan oleh masyarakat Yogyakarta sampai hari ini.

Setelah Soekarna-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agutus 1945—masih menurut Atmakusumah [ed.] (2011)—Sultan HB IX mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta bagian dari Republik Indonesia. Strategi politik ini dilakukan oleh Sultan HB IX agar Kesultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure terbebas dari cengkeraman penjajah.

Ketika Republik Indonesia yang baru seumur jagung tersebut harus menghadapi agresi Militer Belanda kembali, dan menyebabkan pusat pemerintahan, yaitu Jakarta tak bisa dipertahankan, Sultan HB IX dengan sigap menawarkan Yogyakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia.

Pemindahan ibukota negara itu terjadi pada tahun 1946. Ini merupakan keputusan politik yang tepat. Mengingat Yogyakarta selain memiliki akar sejarah panjang di Nusantara, juga sebagai tambahan legitimasi bahwa kendati masih memegang tradisi kesultanan, Yogyakarta tetap terbuka dengan perubahan.

Pada saat itu pula Sultan HB IX diangkat menjadi anggota Kabinet Syahrir III sebagai Menteri Negara era Orde Lama. Pengangkatan Sultan HB IX dalam Kabinet Syahrir III itu merupakan awal dari karier politiknya, dan mencapai puncak ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada tahun 1973-1978.

Sikap nasionalisme Sultan HB IX diperkuat lagi dalam peryataannya di teater terbuka Taman Hiburan Rakyat (THR) pada 18 Agustus 1986. Dalam acara tersebut ia menyampaikan bahwa ada empat hal yang melatarbelakangi sikapnya untuk tetap berdiri di belakang Republik Indonesia, salah satunya adalah keinginan menghilangkan stigma bahwa sultan bukanlah antek-antek Belanda (Atmakusumah [ed.]: 2011).

Berkat kiprah politik yang dilakukan oleh Sultan HB IX pada Republik Indonesia inilah Yogyakarta dijadikan sebagai Daerah Istimewa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 1950 dan berdasarkan Undang-Undang nomor 18 tahun 1965. Selanjutnya terbit Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2012 tentang privilege Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menyatakan bahwa Gubernur DIY ialah Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, sedangkan Wakil Gubernur ialah Adipati Paku Alam yang bertahta.

Dengan demikian, proses perjalanan dan pengabdian panjang Sultan HB IX untuk Republik Indonesia inilah yang menjadikan Yogyakarta sampai sekarang sebagai Daerah Istimewa dan masih langgeng seperti dahulu kala. []

Share this post

About the author

Dosen Sejarah di UIN Satu Tulungagung