Wartakita

Sambijajar Tempoe Doeloe: Melacak Sejarah Desa dari Cerita (2)

Sambijajar Tempoe Doeloe: Melacak Sejarah Desa dari Cerita (2)

Babad Desa: Punden, Danyang dan “Wali Desa”

Istilah punden, danyang atau wali desa sebetulnya bukan hal baru. Ia berkaitan dengan kosmologi; wawasan masyarakat terhadap suatu yang bersifat makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada pendapat Andrew Beatty (2001) misalnya, yang menyebut bahwa makrokosmos adalah semesta, sedangkan mikrokosmos adalah kita dan makhluk lainnya sebagai partikel kecil dari kekuatan itu. Dalam keyakinan masyarakat Jawa, alam kosmis ini dibatasi oleh kiblat papat lima pancer: wetan (timur), kidul (selatan), kulon (barat), lor (utara), dan pancer (tengah). Tengah adalah pusat kosmis masyarakat Jawa, yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, penghubung dengan dunia atas.

Dalam kaitannya dengan kosmologi itulah, maka di dalam kultur masyarakat Jawa, istilah danyang merujuk pada sebuah esensi metafisik yang berkaitan dengan leluhur suatu desa. Ia dianggap sebagai sosok historis yang konon merupakan penghuni, penjaga dan pendiri sebuah desa. Ia identik dengan roh atau lelembut yang oleh penduduk sekitar sering disebut dengan punden (Misbahus Surur, 2020).

Kalau merujuk pada pendapat Agus Sunyoto (2018), istilah danyang sebetulnya merupakan anasir agama asli (indigenous) Nusantara yaitu Kapitayan. Hal itu ditandai dengan pemujaan terhadap entitas yang bernama Sanghyang Taya.

Ia digambarkan mewujud dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut ‘tu’ atau ‘to’ yang bermakana daya gaib bersifat adikodrati. Karena sifatnya yang gaib, maka dibutuhkan sarana untuk pemujaannya lewat beberapa hal yang berawalan atau berakhiran ‘tu’ atau ‘to’ tadi. Misalnya seperti tu-ngkub (punden), tu-nda (punden berundak), to (roh penjaga) di tu-ban (air terjun), tu-k (mata air), tu-rumbukan (pohon beringin), wa-tu (batu), tu-gu, tu-mbak (jenis lembing), to-san (pusaka), dll.

Dalam konteks ini, Clifford Geertz (2014) juga pernah mengklasifikasikan beberapa istilah mulai dari: demit, danyang, lelembut atau setan, baik dalam pengertian luas maupun sempit, yang merujuk pada penyebutan makhluk halus pada umumnya dan subjenis makhluk halus tertentu secara khusus. Demit dalam arti sempit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan Hindu (mungkin sebuah patung kecil yang sudah rusak), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang nyaris tersembunyi atau kekhususan topografis semacam itu.

Persis dengan gambaran Geertz, di Desa Sambijajar sendiri, setidaknya ada dua punden yang masih dikeramatkan sampai saat ini: Punden Waringin Putih, dan Punden Mbalong. Itu semua—meminjam istilah Mark R. Woodward (2008)—bisa jadi merupakan “wali desa”; tokoh yang diberi linuwih untuk menyebarkan Islam di suatu tempat yang memang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan.

Punden Waringin Putih

Punden ini berbentuk pohon beringin berukuran raksasa (sekarang sudah roboh karena terbakar) yang menurut sesepuh setempat sudah berumur ratusan tahun.

Dulu, sewaktu saya masih kecil, Alm. Mbah Putri sering bercerita tentang misteri dan keangkeran Punden Waringin Putih yang terletak di Dusun Waringin tersebut.

Kata Mbah saya, sosok yang menjadi danyangan di punden tersebut berwujud Harimau putih. Jika ia mewujud menjadi manusia maka tampangnya seperti seorang putri keraton. “Setiap malam Jumat Legi, Harimau putih itu keliling desa, menjaga desa,” begitu kata Mbah saya dulu saat bercerita.

Kondisi Punden Waringin saat ini, setelah terbakar dan roboh.

Di bawah pohon beringin raksasa ini jugalah terdapat dua makam yang disinyalir merupakan para “wali desa” atau sesepuh yang mendirikan desa pada zaman dahulu kala. Dua makam tersebut dinamai dengan makam Mbah Wirakusuma dan anaknya bernama Wiradirja.

Dalam penelusuran, dua orang ini tidak jelas asal-usul dan sepak terjangnya. Hanya saja, menurut cerita dua tokoh ini masih ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Kariman, entah saudara atau sekadar pengikutnya.

Di setiap bulan Suro dalam kalender Jawa atau Muharram dalam kalender Hijriah, di punden ini selalu digelar acara Suronan berupa slametan dengan pagelaran kesenian Jaranan.

Menurut mitos yang berkembang, jika penduduk setempat tidak menggelar kesenian Jaranan maka danyang punden tersebut akan marah dan bisa menyebabkan pagebluk atau wabah penyakit. Meskipun sampai catatan ini ditulis, juga tak jelas pagebluk macam apa yang dimaksud karena tidak pernah ditemukan bukti empiris-historis bahwa Desa Sambijajar pernah mengalaminya.

Sayangnya, seperti yang sudah penulis sebut di awal tadi, Punden Waringin ini kini tinggal sisa-sisanya saja akibat pohonnya hampir habis dilahap oleh api. Menurut keterangan warga sekitar, tidak jelas apa penyebab kebakaran. Ada yang bilang karena ada orang membakar daun dan reranting kering di bawah pohon beringin raksasa itu. Namun ada juga yang menyebut lantaran bekas dupa orang yang nyadran di sana. Bahkan agak tidak enak didengar, ada yang menyebut sengaja dibakar oleh orang karena alasan tertentu.

Punden Mbalong

Punden yang satu ini terletak di tengah persawahan dan perbatasan timur Desa Sambijajar dengan Purworejo. Bentuknya berupa dua makam kecil yang dikelilingi oleh bambu duri (pring ori). Dulu di dekat makam tersebut ada pohon besar sekarang sudah ambruk karena lapuk dimakan oleh zaman.

Hampir sama dengan Punden Waringin, di setiap memasuki bulan Suro, di Punden Mbalong juga digelar ritual untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.

Ada cukup banyak cerita mistik di punden ini. Dulu, saat saya masih anak-anak, orang-orang tua selalu mewanti-wanti anaknya untuk tidak mencari ikan ataupun jangkrik di sekitar Punden Mbalong. Konon, menurut cerita mitos yang berkembang, bagi siapa pun yang berani mencari ikan ataupun jangkrik di sana bakal mengalami sakit bahkan meninggal dunia. Cerita ini dikuatkan oleh kejadian yang menimpa tetangga saya dulu kala ia masih kecil.

Masyarakat sedang merekonstruksi makam di Punden Mbalong.

Kisahnya terjadi sekira tahun 1987. Pada saat itu lazim anak-anak desa sering pergi ke sawah untuk mencari jangkrik pada malam hari. Dari ingatan kakak saya yang terbatas, pada saat itu ia kelas 4 SD dan si korban kelas 2 SD. Kemudian mereka memutuskan untuk pergi ke Mbalong untuk mencari jangkrik. Tidak jelas apa sebabnya, keesokan harinya si korban mengalami kesurupan. Alih-alih ke dokter, pihak keluarga pada saat itu malah berinisiatif untuk bertanya pada paranormal dan konon anak itu diganggu oleh demit Mbalong. Sampai pada akhirnya anak itu meninggal dunia.

Cerita-cerita mistis semacam itu memang lazim di kalangan masyarakat Islam-Jawa pada khususnya. Bahkan, menurut Geertz (2014) dan dikuatkan juga oleh Timothy Daniels (2009), paranormal atau dukun seringkali dianggap sebagai “juru selamat” alternatif yang tak kalah otoritatif dibandingkan dengan dokter. Karena mereka mempunyai keahlian menyembuhkan penyakit, baik yang medis maupun non-medis. Kecuali dukun bayi yang memang hanya bisa dilakukan oleh segelintir perempuan saja.

Lepas dari pro-kontra, Mbalong sesungguhnya merupakan petilasan makam yang sekarang memang sudah hilang. Dulu, di tempat itu ada dua makam yang konon merupakan makam leluhur bernama Mbah Jokosuwito beserta istrinya. Dari penuturan narasumber, Mbah Jokosuwito bisa jadi merupakan rombongan pengikut Ki Ageng Kariman yang memang dulunya diamanati wilayah Sambijajar timur dan sekitarnya.

Hari ini makam itu mulai dibangun kembali. Pohon-pohon kecil dan reranting yang saling semburat kesana-kemari mulai dibersihkan. Harapannya, ketika nanti sudah selesai direkonstruksi, kesan mistisnya berkurang dan bisa menjadi semacam wisata religi (religious tourism) berbasis kearifan lokal. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.