Sudut Pandang

Gus Baha dan Penyegaran (Kembali) Pemahaman Islam

Gus Baha dan Penyegaran (Kembali) Pemahaman Islam

Nama lengkapnya KH. Ahmad Bahauddin Nursalim tapi akrab disapa Gus Baha. Ia adalah salah satu santri jebolan pesantren Al Anwar Karangmangu Rembang yang pernah diasuh oleh Alm. Kiai Maiomen Zubair. Namanya mulai dikenal oleh publik ketika ceramah-ceramahnya berseliweran di berbagai media sosial terutama Youtube. Jika Anda ketik keyword “Gus Baha” di Youtube seketika muncul berjubel ceramahnya.

Sosoknya bersahaja, dengan ciri khas peci hitam yang terkesan dipakai ala kadarnya. Tapi siapa sangka di balik kesederhaannya itu tersimpan ilmu agama yang mendalam. Selain hafidz Qur’an sejak usia belia, ia juga terkenal pakar dalam berbagi ilmu Islam lainnya, terutama tafsir, fikih, dan hadis. Pemahaman agamanya selalu kontekstual dengan problematika kekinian.

Catatan pendek ini akan mengulas sosok Gus Baha dalam kaitannya dengan fenomena penyegaran (kembali) pemahaman Islam di tengah derasnya arus disinformasi di dunia maya.

Gus Baha—kiai muda yang jarang mau diundang ceramah agama kecuali masih ada hubungan dengan guru atau keluarga itu—seolah menjadi oase di tengah panasnya silang sengkarut pemahaman Islam di dunia digital.

Baru-baru ini misalnya, lini masa berbagai media sosial ramai perbincangan tentang jajanan tradisional klepon yang dianggap tidak islami. Hal itu bermula ketika salah satu akun di Twitter mengunggah gambar klepon dengan narasi “Kue klepon tidak islami” sambil mengajak netizen membeli aneka kurma yang tersedia di toko syariah milik pengunggah.

Dalam hal ini banyak tokoh agama yang menanggapi. Meskipun sesungguhnya cuitan remeh-temeh di Twitter itu tak perlu ditanggapi secara serius. Karena klaim klepon itu tak islami kalau meminjam logika silogisme hipotesis Aristoteles, antara premis mayor, minor dan konklusi tidak nyambung sama sekali. Logikanya begini:

  • Premis Mayor: Semua makanan yang tak ada pada zaman nabi tidak islami
  • Premis Minor: Klepon adalah makanan yang tak ada pada zaman nabi
  • Konklusi: Jadi klepon bukan makanan islami

Logika di atas tidak masuk dalam kaidah silogisme sebab proposisi yang dijadikan premis mayor tidak berdasarkan pada hipotesis yang benar. Sehingga proposisi yang dijadikan premis minor dan konklusinya pun menjadi tidak logis. Dalam hukum Islam tidak ada kategori makanan islami kecuali yang umum adalah halal atau haram. Sedangkan kue klepon adalah makanan yang dibuat dari bahan-bahan yang halal. Klepon menjadi haram kalau kita mendapatkannya dengan mencuri.

Gus Baha, Post-Truth & “Matinya Kepakaran”

Narasi atau sekadar cuitan di medsos yang berbau SARA memang cukup massif semenjak momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 sampai dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Semenjak suksesi politik itulah istilah hoaks mulai menggejala dan mewabah di Indonesia. Sehingga banyak pakar menyebut bahwa Indonesia tiba pada masa yang disebut post-truth.

Terminologi post-truth berarti kebenaran menjadi monopoli salah satu kelompok atau orang. Masyarakat pasca-kebenaran konon adalah mereka yang lebih mementingkan asumsi, emosi dan prasangka ketimbang logika dan fakta. Meminjam istilah M. Yasir Alimi (2018), “Facts are furtile” alias fakta itu sia-sia. Mungkin ini hampir sama dengan gambaran Baudrillard bahwa kita sampai pada masa membeludaknya informasi tapi miskin secara maknawi.

Beberapa orang juga sering menyebut kita sampai pada masa “the death of expertise” atau “matinya kepakaran.” Orang sekarang lebih percaya pada sebagian dai selebritis yang belum jelas sanad keilmuannya ketimbang ceramah ulama yang jelas sanad ilmunya. Salah satunya disebabkan karena sumber informasi dalam dunia digital yang tumpang tindih. Parahnya seseorang dianggap pakar dalam segala bidang hanya karena ia mempunyai follower atau subscriber berjuta-juta.

Gus Baha—kiai muda yang jarang mau diundang ceramah agama kecuali masih ada hubungan dengan guru atau keluarga itu—seolah menjadi oase di tengah panasnya silang sengkarut pemahaman Islam di dunia digital.

Meski dalam sudut pandang yang lain, matinya kepakaran—kalau kita mau jujur—boleh jadi semacam otokritik atas terlalu elitis-nya para pakar. Sehingga masyarakat awam wabil khusus netizen dengan berbagai latar belakang tak mampu menerima penjelasan mereka yang sering tampak ilmiah dengan setumpuk teori yang meroket. Pendek kata, para pakar kita kurang “membumi.”

Dalam konteks inilah kehadiran Gus Baha menjadi angin segar tersendiri. Ia unik karena tak mau ikut arus di tengah musim suburnya Youtube sebagai lahan mengeruk rupiah.

Jadi jika Anda bertanya adakah akun Youtube resmi Gus Baha? Jelas jawabannya tak ada. Karena bagaimanapun Gus Baha adalah produk pesantren salaf yang sesungguhnya melihat dakwah sebagai tanggung jawab sosial dan agama semata.

Kalaupun banyak akun Youtube yang mengunggah rekaman suaranya saat ngaji atau rekaman video saat ia diundang dalam acara tertentu, bisa dipastikan itu bukanlah akun resminya. Alias itu murni inisiatif content creator Youtube itu sendiri. Tentu ada yang izin Gus Baha terlebih dahulu, ada juga yang sekadar comot sana-sini.

Ada banyak sekali tema yang diangkat dalam setiap sesi ngaji yang ia lakukan. Hebatnya, mulai dari tema yang berat sampai ringan, ia sajikan dengan penjelasan yang memahamkan orang awam sekalipun.

Semisal, Gus Baha dalam salah satu ceramahnya mengurai terminologi tentang “mengikuti sunnah nabi.” Ia pernah ditanya kenapa tak pernah memakai serban padahal itu sunnah rasul?

Dengan nada guyon tapi bermakna ia mengatakan bahwa sunnah rasul yang paling utama bukanlah pakaian tapi akhlak. Kalau serban, kata Gus Baha, beli di pasar banyak. Gus Baha lantas melempar tanya, “Kenapa yang dicontoh hanya cara berpakaian, atau jenggotan dan celana cingkrang? Kenapa tidak hafalan Qur’an-nya, kecerdasan dan pemahaman rasul? Padahal hafal Qur’an juga sunnah rasul.” Hal ini secara tak langsung juga kritik terhadap kelompok yang sering berseru untuk kembali kepada Qur’an dan sunnah.

Gus Baha menyederhanakan suatu hukum (Islam) yang tadinya tampak rumit bukan malah merumitkan yang sebetulnya sederhana. Dalam menyikapi seorang yang sudah salat tapi masih melakukan maksiat misalnya. Ia tak lantas langsung menjustifikasi sebagai orang yang kotor dan pasti masuk neraka. Ia menganalogikan bahwa salat itu adalah proses menuju kebaikan.

Gus Baha juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan antaragama sebagai bukti cinta kepada Islam. Ia mengatakan bahwa kalau kita mencintai Islam maka jangan sakiti agama lain. Argumentasi ini bukanlah tanpa dasar. Ia mengutip salah satu bab dalam kitab karangan Syeikh Izzudin bin Abdussalam, Syajaratul Ma’arif Wa al-Ahwal, Wa Shalihi al-Aqwal Wa al-A’mal. Kitab karangan ulama klasik ahli fikih mazhab Syafi’i yang terkenal tawadu, zuhud dan bergelar “sultanul ulama” tersebut.

Saya tadinya mengira bahwa ceramah-ceramah kiai yang berwawasan moderat sudah tak begitu diminati lagi, terutama dengan latar belakang Nahdliyin. Ternyata asumsi saya salah.

Salah satu akun Youtube bernama “Kalam-Kajian Islam” nyatanya tetap memiliki subscriber sejumlah 287 ribu dengan viewer dari setiap konten rata-rata di atas 10 ribu. Bahkan ada satu konten yang viewer-nya mencapai 595 ribu. Semua konten yang diunggah hanya berisi ceramah Gus Baha.

Saya akhirnya lega, karena wacana “the death of expertise” yang digelorakan oleh Tom Nichols tersebut tak sepenuhnya benar. Sebab (salah satunya) masih ada Gus Baha yang menjadi bukti bahwa kepakaran tak benar-benar mati. []

Share this post

About the author

Penulis Buku "Media Online Radikal dan Matinya Rasionalitas Komunikatif" (2019) serta "Kuncen" di Diskursus Institute.