Wartakita

Program Penulisan Babad Desa

Program Penulisan Babad Desa

Tradisi literer bangsa kita agak buruk karena didominasi oleh tradisi lisan. Banyak sekali fragmen-fragmen sejarah yang hilang dan sulit untuk dilacak karena memang tak terdokumentasikan dengan baik, terutama tentang babad desa.

Desa mempunyai akar sejarah panjang di Nusantara. Jauh sebelum negara Indonesia resmi berdiri, desa-desa di seluruh tanah Nusantara sudah lebih dulu ada dan eksis. Bahkan Budayawan nyentrik Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menuliskannya dalam sepucuk buku kumpulan catatan bertajuk, Indonesia Bagian dari Desa Saya.

Judul buku yang diambil dari salah satu catatannya pada era 70-an itu bukanlah sekadar ungkapan kosong. Selain sebuah satir yang menggambarkan ironi dan kegetiran (sosio-politik) Indonesia, di sisi lain frase ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’ dalam makna sesungguhnya juga benar adanya. Artinya jika kita mau menengok sejarah, maka semua desa yang ada di Indonesia sekarang ini memang lebih dulu muncul, bahkan jauh sebelum para pendiri negara ini lahir. Oleh karena itu, setiap desa pastilah mempunyai akar sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri dan digali.

Namun sayangnya, tradisi literer bangsa kita agak buruk karena didominasi oleh tradisi lisan. Banyak sekali fragmen-fragmen sejarah yang hilang dan sulit untuk dilacak karena memang tak terdokumentasikan dengan baik, terutama tentang babad desa. Apalagi jika hanya mengandalkan cerita tutur yang tentu saja akan berbenturan dengan ingatan penutur yang terbatas dan sanad cerita yang seringkali terputus dari satu generasi ke generasi yang lain karena sesepuh sudah keburu meninggal. Orang dulu menyebutnya dengan istilah kepaten obong.

Di Tulungagung sendiri—sejauh pelacakan penulis—belum ada buku utuh tentang babad desa, baik yang ditulis oleh dinas terkait maupun pemerintah desa itu sendiri. Yang penulis temukan hanya potongan-potongan cerita dan tulisan singkat profil desa. Maka penelusuran sejarah desa yang dirangkum dalam buku babad desa penting untuk dilakukan. Apalagi semua desa di seluruh Indonesia sekarang juga sudah mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk berlomba-lomba mengembangkan desanya baik dari segi infrastruktur maupuan sumberdaya manusianya. Minimal dengan adanya buku babad desa yang ditulis berdasarkan penelitian dan penelusuran mendalam bisa menjadi dokumentasi tertulis yang sahih dan ikut menyemarakkan program literasi desa.  

Lantas bagaimana cara mengukur ke-sahih-an sebuah informasi jika sumbernya didominasi oleh cerita tutur masyarakat? Dalam tradisi ilmu antropologi, sumber dibedakan menjadi tiga: pertama, situs, manuskrip atau sejenisnya. Kedua, dokumen baik berupa buku atau jurnal hasil riset terdahulu. Ketiga, cerita tutur masyarakat setempat.

Sehingga sah-sah saja jika sebuah buku mengulas sejarah (lokal) yang sulit dicari dokumen pendukungnya lantas mengandalkan cerita tutur masyarakat sebagai sumbernya.  Sebab betapapun cerita tutur itu terdapat beberapa kelemahan, namun dalam tradisi penelitian lapangan informan juga menjadi bagian penting sumber data yang tak bisa dinafikan peranannya.

Dengan melihat realitas seperti gambaran di atas, kami menggagas program penulisan sejarah babad desa di setiap desa yang ada di Tulungagung. Tujuannya agar setiap desa tahu akar sejarah dan leluhurnya secara tertulis dengan berdasar pada riset literatur dan sejarah tutur. Program ini sudah dimulai sejak Maret 2020 dengan sampel pertama adalah Desa Sambijajar, Kecamatan Sumbergempol. Dengan pertimbangan bahwa di sana masih terdapat situs makam yang disinyalir merupakan tokoh pendiri desa pertama. Adapun outcome-nya adalah buku yang akan kami distribusikan secara cuma-cuma. []

Share this post

About the author